TAREKAT NAQSYABANDIYAH ROWOBAYAN,
PADANGAN, BOJONEGORO, PADA MASA KH. ABDUL HADI
A. PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu sisi dalam ajaran dan pengalaman Islam, yang otomatis dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw. sendiri. Tasawuf hanyalah satu cara pendekatan diri kepada Allah swt. melalui batin. Peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi saw. merupakan pencapaian puncak tertinggi bagi amalan tasawuf Nabi Muhammad saw. Banyak ayat Al-Qur'an yang menyatakan akan hal tersebut, begitu pula hadits Nabi saw. Diantaranya ialah Surat al-Baqarah ayat 186, yang artinya: "Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang memanggil jika Aku dipanggil".
Banyak aliran tasawuf yang berupa tarekat, yang dibedakan dengan tasawuf falsafi, di antaranya ialah Naqsyahbandiyah yang tersebar di dunia Islam, termasuk Indonesia. Naqsyabandiyah mempunyai cabang-cabang, diantaranya ialah Mazhariyah dan Khalidiyah. Sebagaimana diketahui, bahwa berbagai aliran tarekat ikut juga memproses Islamisasi di Nusantara pada abad XV dan XVI.
Tarekat Naqsyabandiyah Rowobayan, Padangan, Bojonegoro yang muncul sejak paruh kedua abad ke-19 M, mempunyai pengaruh luas, seperti di daerah Bojonegoro sendiri, Lamongan, Gresik, Blora dan Rembang di Jawa Tengah. Termasuk juga ke Pontianak, Bali serta Jakarta. Oleh karena itu, tarekat tersebut menarik untuk diteliti, karena antara lain mempunyai jalur langsung dari Makkah. Disamping itu, belum adanya penelitian yang memadai, sehingga penelitian ini akan menjadi penting artinya bagi pengetahuan tarekat di suatu wilayah tertentu, khususnya di belahan Jawa Timur, dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang ada di hadapan para pembaca yang budiman kali ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1997 yang lalu yang mengambil lokasi di Pondok Pesantren Irsyadut Thalabah di Dusun Rowobayan, Kelurahan Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Lokasi penelitian itu terletak di Jawa Timur bagian barat berbatasan dengan Jawa Tengah bagian timur yang merupakan persimpangan jalan antara Cepu-Bojonegoro-Ngawi, lebih kurang 120 km. dari Surabaya ke arah barat, atau 32 km. dari kota Bojonegoro. Pada kesempatan ini, pembahasan tentang tarekat Naqsyabandiyah hanya dibatasi pada kepemimpinan K.H. Abdul Hadi di pesantren tarekat tersebut.
B. Keadaan Alam dan Masyarakat Rowobayan
Rowabayan termasuk dalam Kelurahan Kuncen, Kecamatan Padanagan, terletak di lembah antara dua pegunungan, yakni pegunungan Kendeng Utara di sebelah utara dan pegunungan Kendeng Selatan di sebelah selatan. Kelurahan Kuncen yang di dalamnya terdapat Rowobayan itu terhampar di tepian sebelah selatan Bengawan Solo, sebuah sungai terpanjang di Pulau Jawa yang bermuara di Selat Madura. Sungai yang berhulu di Jawa Tengah bagian selatan itu pula yang membatasi antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kelurahan Kuncen berbatasan dengan Sungai Solo di sebelah utara, Kelurahan Padangan di sebelah barat, Kelurahan Sonorejo dan Ngasinan di sebelah selatan, dan Kelurahan Banjarejo di sebelah timur. Tanah pertaniannya cocok bagi daerah ini, namun termasuk wilayah rawan banjir bila musim hujan karena luapan Bengawan Solo dan Sungai Buduk yang berada di timur desa. Penduduk Rowobayan disamping bertani juga berdagang. Pertanian dilaksanakan dengan pengairan teknis dan tadah hujan. Pengairan teknis dilakukan dengan membuat tiga waduk di Ngasinan dan pompanisasi dengan mesin diessel untuk menaikkan air dari Bengawan Solo.
Di dalam desa Kuncen terdiri dari dua dusun, yakni Rowabayan dan Kuncen yang terdiri dari 16 Rukun Tetangga (RT). Jalur lalu lintas darat dilalui kendaran darat/mobil dan kereta api jurusan Surabaya-Jakarta, di samping jalur perahu di Bengawan Solo. Padangan mempunyai stasiun kereta api kecil yang saat ini sudah sepi, karena kalah dengan kendaraan bermotor yang beroperasi setiap saat, dan jarangnya kereta api penumpang yang berhenti di stasiun tersebut. Kereta api Jakarta-Surabaya berhenti hanya di stasiun Cepu dan Bojonegoro. Jalur darat menghubungkan antara kota Cepu di sebelah barat sekitar 3 km., dan kota dan kethoprak tidak disukai oleh masyarakat, gamelan (gong) tidak dapat dipaksakan untuk ditabuh di Kuncen. Pernah ada yang memaksa menanggap wayang kulit, tetapi berakibat fatal bagi yang menanggapnya. Hal yang demikian itu dapat dimaklumi karena memang masyarakatnya tidak mendukung kesenian yang bercorak Jawa, tetapi mereka suka dengan kesenian yang bernafaskan Islam.
Penduduk daerah ini memakai bahasa Jawa dengan dialek khas wilayah ini, yakni dialek "leh", dan "thik", serta "oh" sebagai bunyi bodoh, umpamanya waluh manjadi waloh, duduh menjadi dudoh, embuh menjadi emboh. Contoh, sampeyan apeh neng ndi "leh" lik ? (kamu mau ke mana paman?) dan Kusir dokar iki "thik" ora nganggo pecut yo (pengemudi dokar ini tidak memakai cambuk ya). Bedakan umpamanya dengan dialek Jawa versi Solo atau Yogyakarta untuk mengatakan contoh yang terakhir itu, maka akan menjadi, kusir dokar iki "kok" ora nganggo pecut to yo. Irama bahasa Jawanya juga mempunyai ciri khas, yang agak berat diucapkan. Untuk wilayah dialek seperti ini sebenarnya bukan hanya daerah Padangan saja, tetapi daerah itu hanya sebagian saja dari wilayah dialek yang lebih luas dari Bojonegoro, Blora, Rembang, Babat, Purwodadi/Grobogan, sebagian Pati dan bagian utara Ngawi. Mereka juga menggunakan kata ganti kepunyaan mu menjadi "em" seperti ucapan lembu, umpamanya klambimu (bajumu) menjadi klambiem, dhuwitmu (uangmu) menjadi dhuwitem, omahmu (rumahmu) menjadi omahem dan lain-lain.
Di Kelurahan Kuncen, ada 2 sekolah Dasar Negeri dan 1 Madrasah Ibtidaiyah milik pesantren Rowobayan. Bila sebagian penduduk ingin meneruskan pelajaran ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Umum (SMU) atau ke Perguruan Tinggi, maka mereka harus meneruskan ke luar desa, seperti Padangan, Cepu atau Bojonegoro, bahkan juga ke Yogyakarta, Surabaya atau Malang dan lain-lain. Mereka yang menamatkan Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 87 orang, SD 762 orang, SMP 255 orang, SMU 365, Akademi 2 0 orang, dan sarjana S1 15 orang.
Kelurahan Kuncen adalah salah satu di antara 16 desa yang terdapat di Kecamatan Padangan. Ibu kota Kecamatan Padangan dahulunya ialah Padangan, tetapi pada tahun 1986 dipindahkan ke Ngasinan yang terletak di selatan kota, di tepi jalan antara Ngawi-Padangan. Penduduk Kecamatan Padangan sendiri berjumlah kurang lebih 40.000 jiwa. Pada Pemilu (pemilihan umum) yang lalu, bulan Mei tahun 1997, Golkar (Golongan Karya) mendapat suara mayoritas, yakni 70 persen. Sisanya dibagi dua, antara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
C. Kepemimpinan KH. Abdul Hadi
Pembawa tarekat Naqsyabandiyah ke Rowobayan ialah KH. Ahmad ibn Munada, ayah KH. Abdul Hadi. Mursyid pertama yang mendapatkan transmisi tarekatnya dari Jabal Qubais di Makkah itu wafat tahun 1915, sebagaimana pada tulisannya di makam- nya yang terletak di samping utara masjid Rowobayan, terbaca hari dan tahun wafatnya, yakni Kamis Pahing, 27 Jumadil Awal 1333 H. atau 7 April 1915. Silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang diperolehnya adalah sebagai berikut :
1. Rasulullah Muhammad saw.
2. Abu Bakar ash-Shiddiq
3. Salman al-Farisi
4. Qasim Muhammad al-Bakr
5. Ja'far Shadiq
6. Musa al-Kadhim
7. Ali Ridho
8. Ma'ruf al-Karkhi
9. Abu Yazid al-Basthamy
10. Muhammad al-Maghribi
11. Abu Yazid al-Isyqy
12. Mudhaffir ath-Thusi
13. Hasan al-Kharqany
14. Ali al-Farmadhi
15. Yusuf al-Hamdany
16. Arif ar-Riwayukari
17. Mahmud al-Arjiri
18. Ali ar-Ramitani
19. Baba as-Samasi
20. Sayyid Amir Kulal
21. Bahauddin an-Naqsyabandi
22. Alauddin Athar
23. Ya'kub al-Jarkhi
24. Ubaidillah Ahrary
25. Muhammad az-Zahid
26. Darwis Muhammad
27. Muhammad Khaujaki
28. Muhammad al-Baqi
29. Muhammad al-Faruqy
30. Muhammad Ma'sum
31. Syaifuddin
32. Sayyid Nuruddin
33. Syamsuddin Habibullah
34. Abdullah Dahlawi
35. Dhiyauddin Khalidi
36. Abdullah Arzinjani
37. Sulaiman ath-Tharabilisy
38. Isma'il Barusi
39. Sulaiman Zuhdi
40. Ahmad Robbayani
KH. Ahmad mempunyai dua anak laki-laki, yang pertama bernama Abdurrahim dan kedua Abdul Hadi. Ahmad kawin pertama kali dengan Umi Zainah yang menurunkan Abdur Rouf tahun 1284 H. tanggal 13 Jumadil Awal. Tanggal tersebut sama dengan kurang lebih 17 Oktober 1867, karena 1 Muharram 1284 itu sama dengan 5 Mei 1867, sedangkan Jumadil Awal adalah bulan kelima. Jadi, Mei ditambah lima bulan sehingga jatuh pada bulan Oktober. Abdur Rouf itulah yang nantinya bernama Abdurrahim. Peralihan nama itu dapat terjadi -menurut tradisi orang Jawa dan juga kebanyakan Muslim- bila seseorang telah nikah atau menjalankan ibadah haji. Kemungkinan yang pertama dan kedua sama-sama kuat.
Dari istri yang lain yang bernama Umi Kasiroh, Ahmad mempunyai anak yang bernama Sholih yang lahir tahun 1285 bulan Rajab, bertepatan dengan (kurang lebih) 27 Nopember 1868, karena 1 Muharram 1285 itu sama dengan 24 April 1868. Sedangkan Rajab adalah bulan yang ketujuh, sehingga April ditambah tujuh bulan menjadi Nopember. Ia berganti nama menjadi Abdul Hadi --kemungkinan-- setelah ia menunaikan ibadah haji dan berbaiat dengan Syekh Naqsyabandiyah di Jabal Abu Qubais, Ali Ridho.
Perkawinan antara pemuda Ahmad dengan Umi Zainah tidak diketahui dengan pasti kapan hal itu terjadi , namun lahirnya putra yang pertama diketahui, yakni 17 Oktober 1867. Kalau kelahinan anak dan perkawinan itu diperkirakan antara setahun atau dua tahun, maka kemungkinan besar perkawinan itu terjadi pada tahun 1865 atau 1866. Sumber lain mengatakan bahwa Umi Zainah wafat setelah melahirkan Abdur Rouf tadi, sehingga ia kawin lagi dengan Umi Kasiroh yang tercatat tanggal 18 Jumadil Akhir 1284 , bertepatan dengan kira-kira 23 Nopember 1867, karena 1 Muharram 1284 jatuh pada 5 Mei 1867, sedangkan Jumadil Akhir adalah bulan keenam sehingga Mei ditambah enam bulan jadi Nopember. Dari ibu Umi Kasiroh ini, KH. Ahmad mempunyai banyak putra maupun putri. Antara lain ialah Ruqoyah, Fathimah, Siti Aminah, Rubingah, Mas'amah, dan Siti Maryam. Namun yang terpenting diantara mereka itu ialah Abdul Hadi yang menggantikan kedudukan KH. Ahmad sebagai mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah di Rowobayan, Padangan.
Pada awalnya, Abdul Hadi yang nama kecilnya ialah Sholihun/Sholih belajar mengaji kepada orang tuanya sendiri, KH. Ahmad. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya ke Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban. Banyak ilmu yang ditimba dari Pesantren lama itu, di antaranya ialah ilmu fiqh dan tata bahasa Arab yang merupakan kekuatan Pesantren tersebut. Setelah menamatkan pelajarannya di Langitan, ia kembali ke Rowobayan dan ikut membantu ayahnya dalam menyebarkan agama Islam serta tarekat Naqsyabandiyah. Ia berbaiat kepada ayahnya sendiri sebelum ke Jabal Abu Qubais ketika menunaikan ibadah haji. Ia menggantikan ayahnya, tahun 1915 setelah wafat ayahnya.
Sebelum kepemimpinan tarekat di Rowobayan dipegang oleh KH. Abdul Hadi, sebenarnya KH. Ahmad Ahmad menunjuk KH. Abdur Rahim untuk menggantikan posisinya, dan Abdul Hadi sebagai badal atau penggantinya. Akan tetapi, anak sulungnya itu wafat belum lama berselang setelah ayahnya wafat, sehingga tampuk kepemimpinan tarekat diganti oleh KH. Abdul Hadi.
Ia meneruskan perjuangan ayah dan kakaknya yang hanya beberapa saat saja memegang jabatan mursyid itu, dalam usaha memajukan tarekat di masyarakatnya lewat "ribath" Rowobayan. Ia menghadapi banyak tantangan dalam berjuang di masyarakat. Di masanya, berkembang pendidikan formal, yakni dengan didirikannya Madrasah dan Diniyah sekitar tahun 1920-an. Pengajian agama Islam biasanya diajarkan lewat sistem sorogan ataupun bandongan di masjid atau surau. Dengan inovasi baru itu, Rowobayan menjadi lebih terkenal dan banyak orang tertarik pada Pesantren Irsyadut Thalabah ini.
Misalnya, ada seorang pastur Kristen yang masuk Islam dan berbai'at kepada tarekat ini dan membantu mengembangkan madrasah Rowobayan. Ia adalah R. Soenarjo yang tamat HIS (Hollands Indische School) Cepu tahun 1930, dan mempunyai keahlian di bidang kepanduan dan bahasa Belanda. Dalam mengembangkan sekolah formalnya ini, KH. Abdul Hadi dibantu oleh adik iparnya yang bernama KH. Husni yang diserahi tugas untuk mengepalai tempat pendidikan tersebut, yang akhirnya terkenal dan dijadikan sekolah ideal bagi masyarakat sekitar dengan banyaknya murid yang dimasukkan ke dalamnya.
Walau terjadi kemajuan di bidang pendidikan formal, tugas K. Abdul Hadi untuk memimpin tarekat Naqsyabandiyah tidak surut. Bahkan pada masanya, tarekat ini mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan meluasnya wilayah pengaruh ajarannya yang bukan saja di daerah Padangan atau Bojonegoro saja, tetapi telah meluas hingga ke Gresik (tepatnya di Desa Kepatihan), Lamongan yang meliputi Kembang Bahu, Tikung, Takeran, Gempol, Moroplang, Cungkup, Sukodadi, Pucuk dan Babat serta Bojonegoro yang meliputi Mulung, dan Kedung Adem, termasuk juga ke daerah Jawa Tengah, yakni di Blora dan Ngawen (Talok, Wohmojo).
Berhasilnya pengembangan tarekat ini karena antara lain didukung oleh aktifnya badal dan khalifah tarekat ini yang mursyidnya tidak lain adalah KH. Abdul Hadi sendiri. Khalifah-khalifah KH. Abdul Hadi antara lain ialah Kyai Hadi, Kyai Umar, Kyai Abdullah Pengkok, Kyai Abdullah, dan KH. Abdurrahman (kemenakan KH. Abdul Hadi) yang nantinya menggantikan kedudukan pendahulunya itu. Dalam masa ini, keanggotaan tarekat di Rowobayan mencapai kurang lebih 1.000 orang. Sedangkan kitab-kitab yang diajarkan di sini ialah kifayatul akhyar dan lain-lain. Untuk tafsir, kitab yang dipakai ialah tafsir Jalalain, sebagaimana ditemukan di Rowobayan saat penelitian beberapa jilid kecil yang sudah terkoyak.
Di samping itu KH. Abdul Hadi didukung oleh para putranya yang mempunyai keahlian masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik kepada gerakan yang dipelopori dari Rowobayan ini. Di antara putra-putra KH. Abdul Hadi dari ibu yang bernama Siti Aminah itu ialah : Hj. Shofiah, H. Sokran, Aisyah, H. Sahuri, H. Ja'far, KH. Abdul Malik, Hj. Siti Syaja'ah, KH. Ali Munif Effendi. Sedangkan dari ibu yang bernama Siti Marmah, KH. Abdul Hadi mempunyai dua orang putra, yakni H. Machfudz dan Hj. Yus. Lewat jalur keluarga dan kawin-mawin ini pula, rupanya Islam dikembangkan di wilayah ini dan sekitarnya lebih lanjut bersamaan dengan berkembangnya tarekat Naqsyabandiyahnya Mujaddidiyah Khalidiyah. Hj. Siti Syaja'ah umpamanya, kawin dengan salah seorang ulama di Ngraho, selatan Padangan (kurang lebih 15 km.) dan mengembangkan Islam di daerahnya. Sedangkan putra yang lain, H. Ja'far aktif di kepanduan sebelum menetap di Surabaya dan H. Munif Effendi menekuni bidang kesenian khususnya seni suara dan musik.
KH. Abdul Hadi wafat di masa pemerintahan pendudukan Jepang, kira-kira tahun 1944. Catatan di makamnya, di samping makam ayahnya di sisi utara masjid Rowobayan, tidak kelihatan nyata, namun dari K. Yosef, mursyid kini, menerangkan bahwa wafatnya ialah Selasa, 7 Rajab 1361. Berarti, tanggal tersebut bertepatan dengan tahun 1942. Sebab 1 Muharram 1361 sama dengan 19 Januari 1942, sedangkan Rajab adalah bulan ketujuh, sehingga Januari ditambah tujuh bulan menjadi bulan Agustus, kira-kira tanggal ke-23. Kemungkinan besar yang lebih tepat perihal wafat KH. Abdul Hadi ialah tahun 1942 itu, dan memang bulan wafatnya juga sudah dalam masa pendudukan Jepang. Ia di ganti oleh putra kakaknya atau kemenakannya yang bernama KH. Abdurrahman karena putra-putranya yang langsung belum ada yang mumpuni di dalam memimpin tarekat Naqsyabandiyah di Rowobayan ini.
________________________________________
Penulis adalah Dekan Fakultas Adab dan Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel SUrabaya dalam matakuliah Sejarah dan Peradaban Islam, tamat S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1994, dengan disertasi Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru : Studi tentang Perkembangan Majelis Ulama Indonesia
Daftar Pustaka
• Bacharach, Jere L., A Middle East Studies Handbook, University of Washington, Seatle, 1984.
• Van Bruneissen, Marteen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indoensia, Mizan, Bandung, 1992.
• Hutomo, Suripan Sadi, Tradisi dari Blora, Citra Almamater, Semarang, 1996.
• H. Machfudz, wawancara, Surabaya, 1997.
• Munir, Misbachul, Tarekat Naqsyabandiyah dan Perkembangannya di Dusun Rowobayan, Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Skripsi S1, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1995.
• Nasution, Harun, Filsafat & Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. iv, 1985.
• Naskah-naskah dan wawancara dari H. Hanifuddin, Kuncen, 1997.
• Kalender 1997, Rowobayan.
Tarekat Naqsyabandiyah Rowobayan, Padangan, Bojonegoro yang muncul sejak paruh kedua abad ke-19 M, mempunyai pengaruh luas, seperti di daerah Bojonegoro sendiri, Lamongan, Gresik, Blora dan Rembang di Jawa Tengah. Termasuk juga ke Pontianak, Bali serta Jakarta. Oleh karena itu, tarekat tersebut menarik untuk diteliti, karena antara lain mempunyai jalur langsung dari Makkah. Disamping itu, belum adanya penelitian yang memadai, sehingga penelitian ini akan menjadi penting artinya bagi pengetahuan tarekat di suatu wilayah tertentu, khususnya di belahan Jawa Timur, dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Apa yang ada di hadapan para pembaca yang budiman kali ini merupakan sebagian kecil dari hasil penelitian yang dilaksanakan pada tahun 1997 yang lalu yang mengambil lokasi di Pondok Pesantren Irsyadut Thalabah di Dusun Rowobayan, Kelurahan Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Lokasi penelitian itu terletak di Jawa Timur bagian barat berbatasan dengan Jawa Tengah bagian timur yang merupakan persimpangan jalan antara Cepu-Bojonegoro-Ngawi, lebih kurang 120 km. dari Surabaya ke arah barat, atau 32 km. dari kota Bojonegoro. Pada kesempatan ini, pembahasan tentang tarekat Naqsyabandiyah hanya dibatasi pada kepemimpinan K.H. Abdul Hadi di pesantren tarekat tersebut.
B. Keadaan Alam dan Masyarakat Rowobayan
Rowabayan termasuk dalam Kelurahan Kuncen, Kecamatan Padanagan, terletak di lembah antara dua pegunungan, yakni pegunungan Kendeng Utara di sebelah utara dan pegunungan Kendeng Selatan di sebelah selatan. Kelurahan Kuncen yang di dalamnya terdapat Rowobayan itu terhampar di tepian sebelah selatan Bengawan Solo, sebuah sungai terpanjang di Pulau Jawa yang bermuara di Selat Madura. Sungai yang berhulu di Jawa Tengah bagian selatan itu pula yang membatasi antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kelurahan Kuncen berbatasan dengan Sungai Solo di sebelah utara, Kelurahan Padangan di sebelah barat, Kelurahan Sonorejo dan Ngasinan di sebelah selatan, dan Kelurahan Banjarejo di sebelah timur. Tanah pertaniannya cocok bagi daerah ini, namun termasuk wilayah rawan banjir bila musim hujan karena luapan Bengawan Solo dan Sungai Buduk yang berada di timur desa. Penduduk Rowobayan disamping bertani juga berdagang. Pertanian dilaksanakan dengan pengairan teknis dan tadah hujan. Pengairan teknis dilakukan dengan membuat tiga waduk di Ngasinan dan pompanisasi dengan mesin diessel untuk menaikkan air dari Bengawan Solo.
Di dalam desa Kuncen terdiri dari dua dusun, yakni Rowabayan dan Kuncen yang terdiri dari 16 Rukun Tetangga (RT). Jalur lalu lintas darat dilalui kendaran darat/mobil dan kereta api jurusan Surabaya-Jakarta, di samping jalur perahu di Bengawan Solo. Padangan mempunyai stasiun kereta api kecil yang saat ini sudah sepi, karena kalah dengan kendaraan bermotor yang beroperasi setiap saat, dan jarangnya kereta api penumpang yang berhenti di stasiun tersebut. Kereta api Jakarta-Surabaya berhenti hanya di stasiun Cepu dan Bojonegoro. Jalur darat menghubungkan antara kota Cepu di sebelah barat sekitar 3 km., dan kota dan kethoprak tidak disukai oleh masyarakat, gamelan (gong) tidak dapat dipaksakan untuk ditabuh di Kuncen. Pernah ada yang memaksa menanggap wayang kulit, tetapi berakibat fatal bagi yang menanggapnya. Hal yang demikian itu dapat dimaklumi karena memang masyarakatnya tidak mendukung kesenian yang bercorak Jawa, tetapi mereka suka dengan kesenian yang bernafaskan Islam.
Penduduk daerah ini memakai bahasa Jawa dengan dialek khas wilayah ini, yakni dialek "leh", dan "thik", serta "oh" sebagai bunyi bodoh, umpamanya waluh manjadi waloh, duduh menjadi dudoh, embuh menjadi emboh. Contoh, sampeyan apeh neng ndi "leh" lik ? (kamu mau ke mana paman?) dan Kusir dokar iki "thik" ora nganggo pecut yo (pengemudi dokar ini tidak memakai cambuk ya). Bedakan umpamanya dengan dialek Jawa versi Solo atau Yogyakarta untuk mengatakan contoh yang terakhir itu, maka akan menjadi, kusir dokar iki "kok" ora nganggo pecut to yo. Irama bahasa Jawanya juga mempunyai ciri khas, yang agak berat diucapkan. Untuk wilayah dialek seperti ini sebenarnya bukan hanya daerah Padangan saja, tetapi daerah itu hanya sebagian saja dari wilayah dialek yang lebih luas dari Bojonegoro, Blora, Rembang, Babat, Purwodadi/Grobogan, sebagian Pati dan bagian utara Ngawi. Mereka juga menggunakan kata ganti kepunyaan mu menjadi "em" seperti ucapan lembu, umpamanya klambimu (bajumu) menjadi klambiem, dhuwitmu (uangmu) menjadi dhuwitem, omahmu (rumahmu) menjadi omahem dan lain-lain.
Di Kelurahan Kuncen, ada 2 sekolah Dasar Negeri dan 1 Madrasah Ibtidaiyah milik pesantren Rowobayan. Bila sebagian penduduk ingin meneruskan pelajaran ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Umum (SMU) atau ke Perguruan Tinggi, maka mereka harus meneruskan ke luar desa, seperti Padangan, Cepu atau Bojonegoro, bahkan juga ke Yogyakarta, Surabaya atau Malang dan lain-lain. Mereka yang menamatkan Taman Kanak-Kanak (TK) sebanyak 87 orang, SD 762 orang, SMP 255 orang, SMU 365, Akademi 2 0 orang, dan sarjana S1 15 orang.
Kelurahan Kuncen adalah salah satu di antara 16 desa yang terdapat di Kecamatan Padangan. Ibu kota Kecamatan Padangan dahulunya ialah Padangan, tetapi pada tahun 1986 dipindahkan ke Ngasinan yang terletak di selatan kota, di tepi jalan antara Ngawi-Padangan. Penduduk Kecamatan Padangan sendiri berjumlah kurang lebih 40.000 jiwa. Pada Pemilu (pemilihan umum) yang lalu, bulan Mei tahun 1997, Golkar (Golongan Karya) mendapat suara mayoritas, yakni 70 persen. Sisanya dibagi dua, antara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
C. Kepemimpinan KH. Abdul Hadi
Pembawa tarekat Naqsyabandiyah ke Rowobayan ialah KH. Ahmad ibn Munada, ayah KH. Abdul Hadi. Mursyid pertama yang mendapatkan transmisi tarekatnya dari Jabal Qubais di Makkah itu wafat tahun 1915, sebagaimana pada tulisannya di makam- nya yang terletak di samping utara masjid Rowobayan, terbaca hari dan tahun wafatnya, yakni Kamis Pahing, 27 Jumadil Awal 1333 H. atau 7 April 1915. Silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang diperolehnya adalah sebagai berikut :
1. Rasulullah Muhammad saw.
2. Abu Bakar ash-Shiddiq
3. Salman al-Farisi
4. Qasim Muhammad al-Bakr
5. Ja'far Shadiq
6. Musa al-Kadhim
7. Ali Ridho
8. Ma'ruf al-Karkhi
9. Abu Yazid al-Basthamy
10. Muhammad al-Maghribi
11. Abu Yazid al-Isyqy
12. Mudhaffir ath-Thusi
13. Hasan al-Kharqany
14. Ali al-Farmadhi
15. Yusuf al-Hamdany
16. Arif ar-Riwayukari
17. Mahmud al-Arjiri
18. Ali ar-Ramitani
19. Baba as-Samasi
20. Sayyid Amir Kulal
21. Bahauddin an-Naqsyabandi
22. Alauddin Athar
23. Ya'kub al-Jarkhi
24. Ubaidillah Ahrary
25. Muhammad az-Zahid
26. Darwis Muhammad
27. Muhammad Khaujaki
28. Muhammad al-Baqi
29. Muhammad al-Faruqy
30. Muhammad Ma'sum
31. Syaifuddin
32. Sayyid Nuruddin
33. Syamsuddin Habibullah
34. Abdullah Dahlawi
35. Dhiyauddin Khalidi
36. Abdullah Arzinjani
37. Sulaiman ath-Tharabilisy
38. Isma'il Barusi
39. Sulaiman Zuhdi
40. Ahmad Robbayani
KH. Ahmad mempunyai dua anak laki-laki, yang pertama bernama Abdurrahim dan kedua Abdul Hadi. Ahmad kawin pertama kali dengan Umi Zainah yang menurunkan Abdur Rouf tahun 1284 H. tanggal 13 Jumadil Awal. Tanggal tersebut sama dengan kurang lebih 17 Oktober 1867, karena 1 Muharram 1284 itu sama dengan 5 Mei 1867, sedangkan Jumadil Awal adalah bulan kelima. Jadi, Mei ditambah lima bulan sehingga jatuh pada bulan Oktober. Abdur Rouf itulah yang nantinya bernama Abdurrahim. Peralihan nama itu dapat terjadi -menurut tradisi orang Jawa dan juga kebanyakan Muslim- bila seseorang telah nikah atau menjalankan ibadah haji. Kemungkinan yang pertama dan kedua sama-sama kuat.
Dari istri yang lain yang bernama Umi Kasiroh, Ahmad mempunyai anak yang bernama Sholih yang lahir tahun 1285 bulan Rajab, bertepatan dengan (kurang lebih) 27 Nopember 1868, karena 1 Muharram 1285 itu sama dengan 24 April 1868. Sedangkan Rajab adalah bulan yang ketujuh, sehingga April ditambah tujuh bulan menjadi Nopember. Ia berganti nama menjadi Abdul Hadi --kemungkinan-- setelah ia menunaikan ibadah haji dan berbaiat dengan Syekh Naqsyabandiyah di Jabal Abu Qubais, Ali Ridho.
Perkawinan antara pemuda Ahmad dengan Umi Zainah tidak diketahui dengan pasti kapan hal itu terjadi , namun lahirnya putra yang pertama diketahui, yakni 17 Oktober 1867. Kalau kelahinan anak dan perkawinan itu diperkirakan antara setahun atau dua tahun, maka kemungkinan besar perkawinan itu terjadi pada tahun 1865 atau 1866. Sumber lain mengatakan bahwa Umi Zainah wafat setelah melahirkan Abdur Rouf tadi, sehingga ia kawin lagi dengan Umi Kasiroh yang tercatat tanggal 18 Jumadil Akhir 1284 , bertepatan dengan kira-kira 23 Nopember 1867, karena 1 Muharram 1284 jatuh pada 5 Mei 1867, sedangkan Jumadil Akhir adalah bulan keenam sehingga Mei ditambah enam bulan jadi Nopember. Dari ibu Umi Kasiroh ini, KH. Ahmad mempunyai banyak putra maupun putri. Antara lain ialah Ruqoyah, Fathimah, Siti Aminah, Rubingah, Mas'amah, dan Siti Maryam. Namun yang terpenting diantara mereka itu ialah Abdul Hadi yang menggantikan kedudukan KH. Ahmad sebagai mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah di Rowobayan, Padangan.
Pada awalnya, Abdul Hadi yang nama kecilnya ialah Sholihun/Sholih belajar mengaji kepada orang tuanya sendiri, KH. Ahmad. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya ke Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban. Banyak ilmu yang ditimba dari Pesantren lama itu, di antaranya ialah ilmu fiqh dan tata bahasa Arab yang merupakan kekuatan Pesantren tersebut. Setelah menamatkan pelajarannya di Langitan, ia kembali ke Rowobayan dan ikut membantu ayahnya dalam menyebarkan agama Islam serta tarekat Naqsyabandiyah. Ia berbaiat kepada ayahnya sendiri sebelum ke Jabal Abu Qubais ketika menunaikan ibadah haji. Ia menggantikan ayahnya, tahun 1915 setelah wafat ayahnya.
Sebelum kepemimpinan tarekat di Rowobayan dipegang oleh KH. Abdul Hadi, sebenarnya KH. Ahmad Ahmad menunjuk KH. Abdur Rahim untuk menggantikan posisinya, dan Abdul Hadi sebagai badal atau penggantinya. Akan tetapi, anak sulungnya itu wafat belum lama berselang setelah ayahnya wafat, sehingga tampuk kepemimpinan tarekat diganti oleh KH. Abdul Hadi.
Ia meneruskan perjuangan ayah dan kakaknya yang hanya beberapa saat saja memegang jabatan mursyid itu, dalam usaha memajukan tarekat di masyarakatnya lewat "ribath" Rowobayan. Ia menghadapi banyak tantangan dalam berjuang di masyarakat. Di masanya, berkembang pendidikan formal, yakni dengan didirikannya Madrasah dan Diniyah sekitar tahun 1920-an. Pengajian agama Islam biasanya diajarkan lewat sistem sorogan ataupun bandongan di masjid atau surau. Dengan inovasi baru itu, Rowobayan menjadi lebih terkenal dan banyak orang tertarik pada Pesantren Irsyadut Thalabah ini.
Misalnya, ada seorang pastur Kristen yang masuk Islam dan berbai'at kepada tarekat ini dan membantu mengembangkan madrasah Rowobayan. Ia adalah R. Soenarjo yang tamat HIS (Hollands Indische School) Cepu tahun 1930, dan mempunyai keahlian di bidang kepanduan dan bahasa Belanda. Dalam mengembangkan sekolah formalnya ini, KH. Abdul Hadi dibantu oleh adik iparnya yang bernama KH. Husni yang diserahi tugas untuk mengepalai tempat pendidikan tersebut, yang akhirnya terkenal dan dijadikan sekolah ideal bagi masyarakat sekitar dengan banyaknya murid yang dimasukkan ke dalamnya.
Walau terjadi kemajuan di bidang pendidikan formal, tugas K. Abdul Hadi untuk memimpin tarekat Naqsyabandiyah tidak surut. Bahkan pada masanya, tarekat ini mengalami perkembangan yang cukup berarti dengan meluasnya wilayah pengaruh ajarannya yang bukan saja di daerah Padangan atau Bojonegoro saja, tetapi telah meluas hingga ke Gresik (tepatnya di Desa Kepatihan), Lamongan yang meliputi Kembang Bahu, Tikung, Takeran, Gempol, Moroplang, Cungkup, Sukodadi, Pucuk dan Babat serta Bojonegoro yang meliputi Mulung, dan Kedung Adem, termasuk juga ke daerah Jawa Tengah, yakni di Blora dan Ngawen (Talok, Wohmojo).
Berhasilnya pengembangan tarekat ini karena antara lain didukung oleh aktifnya badal dan khalifah tarekat ini yang mursyidnya tidak lain adalah KH. Abdul Hadi sendiri. Khalifah-khalifah KH. Abdul Hadi antara lain ialah Kyai Hadi, Kyai Umar, Kyai Abdullah Pengkok, Kyai Abdullah, dan KH. Abdurrahman (kemenakan KH. Abdul Hadi) yang nantinya menggantikan kedudukan pendahulunya itu. Dalam masa ini, keanggotaan tarekat di Rowobayan mencapai kurang lebih 1.000 orang. Sedangkan kitab-kitab yang diajarkan di sini ialah kifayatul akhyar dan lain-lain. Untuk tafsir, kitab yang dipakai ialah tafsir Jalalain, sebagaimana ditemukan di Rowobayan saat penelitian beberapa jilid kecil yang sudah terkoyak.
Di samping itu KH. Abdul Hadi didukung oleh para putranya yang mempunyai keahlian masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat agar tertarik kepada gerakan yang dipelopori dari Rowobayan ini. Di antara putra-putra KH. Abdul Hadi dari ibu yang bernama Siti Aminah itu ialah : Hj. Shofiah, H. Sokran, Aisyah, H. Sahuri, H. Ja'far, KH. Abdul Malik, Hj. Siti Syaja'ah, KH. Ali Munif Effendi. Sedangkan dari ibu yang bernama Siti Marmah, KH. Abdul Hadi mempunyai dua orang putra, yakni H. Machfudz dan Hj. Yus. Lewat jalur keluarga dan kawin-mawin ini pula, rupanya Islam dikembangkan di wilayah ini dan sekitarnya lebih lanjut bersamaan dengan berkembangnya tarekat Naqsyabandiyahnya Mujaddidiyah Khalidiyah. Hj. Siti Syaja'ah umpamanya, kawin dengan salah seorang ulama di Ngraho, selatan Padangan (kurang lebih 15 km.) dan mengembangkan Islam di daerahnya. Sedangkan putra yang lain, H. Ja'far aktif di kepanduan sebelum menetap di Surabaya dan H. Munif Effendi menekuni bidang kesenian khususnya seni suara dan musik.
KH. Abdul Hadi wafat di masa pemerintahan pendudukan Jepang, kira-kira tahun 1944. Catatan di makamnya, di samping makam ayahnya di sisi utara masjid Rowobayan, tidak kelihatan nyata, namun dari K. Yosef, mursyid kini, menerangkan bahwa wafatnya ialah Selasa, 7 Rajab 1361. Berarti, tanggal tersebut bertepatan dengan tahun 1942. Sebab 1 Muharram 1361 sama dengan 19 Januari 1942, sedangkan Rajab adalah bulan ketujuh, sehingga Januari ditambah tujuh bulan menjadi bulan Agustus, kira-kira tanggal ke-23. Kemungkinan besar yang lebih tepat perihal wafat KH. Abdul Hadi ialah tahun 1942 itu, dan memang bulan wafatnya juga sudah dalam masa pendudukan Jepang. Ia di ganti oleh putra kakaknya atau kemenakannya yang bernama KH. Abdurrahman karena putra-putranya yang langsung belum ada yang mumpuni di dalam memimpin tarekat Naqsyabandiyah di Rowobayan ini.
________________________________________
Penulis adalah Dekan Fakultas Adab dan Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel SUrabaya dalam matakuliah Sejarah dan Peradaban Islam, tamat S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1994, dengan disertasi Peranan Ulama dalam Masa Orde Baru : Studi tentang Perkembangan Majelis Ulama Indonesia
Daftar Pustaka
• Bacharach, Jere L., A Middle East Studies Handbook, University of Washington, Seatle, 1984.
• Van Bruneissen, Marteen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indoensia, Mizan, Bandung, 1992.
• Hutomo, Suripan Sadi, Tradisi dari Blora, Citra Almamater, Semarang, 1996.
• H. Machfudz, wawancara, Surabaya, 1997.
• Munir, Misbachul, Tarekat Naqsyabandiyah dan Perkembangannya di Dusun Rowobayan, Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro, Skripsi S1, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1995.
• Nasution, Harun, Filsafat & Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet. iv, 1985.
• Naskah-naskah dan wawancara dari H. Hanifuddin, Kuncen, 1997.
• Kalender 1997, Rowobayan.
1 komentar:
Sedikit berbagi pengalaman siapa tau bermanfaat
Sudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan, mungkin lebihdari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa Garut, Sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali , namun tidak satupun berhasil, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website ustad.hakim www.pesugihan-islami88.blogspot.co.id sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya di suruh YAKIN dan melaksanakan apa yang di sampaikan pak.ustad, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Alhamdulilah akhirnya 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di jakarta, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi ustad.hakim bawazier di 085210335409 Toh tidak langsung datang ke jawa timur juga bisa, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin seperti saya coba hubungi ustad.hakim bawazier agar di berikan arahan
Posting Komentar