SIRAH MUHAMMAD
Muhammad adalah keturunan Nabi Ismail -nabi dengan 12 putra yang menjadi cikal bakal bangsa Arab. Para nenek moyang Muhammad adalah penjaga Baitullah sekaligus pemimpin masyarakat di Mekah, tempat yang menjadi tujuan bangsa Arab dari berbagai penjuru untuk berziarah setahun sekali. Tradisi ziarah yang sekarang, di masa Islam, menjadi ibadah haji. Salah seorang yang menonjol adalah Qusay yang hidup sekitar abad kelima Masehi.
Tugas Qusay sebagai penjaga ka'bah adalah memegang kunci ('hijabah'), mengangkat panglima perang dengan memberikan bendera simbol yang dipegangnya ('liwa'), menerima tamu ('wifadah') serta menyediakan minum bagi para peziarah ('siqayah').
Ketika lanjut usia, Qusay menyerahkan mandat terhormat itu pada pada anak tertuanya, Abdud-Dar. Namun anak keduanya, Abdul Manaf, lebih disegani warga. Anak Abdul Manaf adalah Muthalib, serta si kembar siam Hasyim dan Abdu Syam yang harus dipisah dengan pisau. Darah tumpah saat pemisahan mereka, diyakini orang Arab sebagai pertanda keturunan mereka bakal berseteru.
Anak-anak Abdul Manaf mencoba merebut hak menjaga Baitullah dari anak-anak Abdud-Dar yang kurang berwibawa di masyarakat. Pertikaian senjata nyaris terjadi. Kompromi disepakati. Separuh hak, yakni menerima tamu dan menyediakan minum, diberikan pada anak-anak Abdul Manaf. Hasyim yang dipercaya memegang amanat tersebut.
Anak Abdu Syam, Umayah, mencoba merebut mandat itu. Hakim memutuskan bahwa hak tersebut tetap pada Hasyim. Umayah, sesuai perjanjian, dipaksa meninggalkan Makkah. Keturunan Umayah -seperti Abu Sofyan maupun Muawiyah- kelak memang bermusuhan dengan keturunan Hasyim.
Hasyim lalu menikahi Salma binti Amr dari Bani Khazraj -perempuan sangat terhormat di Yatsrib atau Madinah. Mereka berputra Syaibah (yang berarti uban) yang di masa tuanya dikenal sebagai Abdul Muthalib -kakek Muhammad. Inilah ikatan kuat Muhammad dengan Madinah, kota yang dipilihnya sebagai tempat hijrah saat dimusuhi warga Mekah. Syaibah tinggal di Madinah sampai Muthalib -yang menggantikan Hasyim karena wafat-menjemputnya untuk dibawa ke Mekah. Warga Mekah sempat menyangka Syaibah sebagai budak Muthalib, maka ia dipanggil dengan sebutan Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib mewarisi kehormatan menjaga Baitullah dan memimpin masyarakatnya. Namanya semakin menjulang setelah ia dan anaknya, Harits, berhasil menggali dan menemukan kembali sumur Zamzam yang telah lama hilang. Namun ia juga sempat berbuat fatal: berjanji akan mengorbankan (menyembelih) seorang anaknya bila ia dikaruniai 10 anak. Begitu mempunyai 10 anak, maka ia hendak melaksanakan janjinya. Nama sepuluh anaknya dia undi ('kidah') di depan arca Hubal. Abdullah -ayah Muhammad-yang terpilih.
Masyarakat menentang rencana Abdul Muthalib. Mereka menyarankannya agar menghubungi perempuan ahli nujum. Ahli nujum tersebut mengatakan bahwa pengorbanan itu boleh diganti dengan unta asalkan nama unta dan Abdullah diundi. Mula-mula sepuluh unta yang dipertaruhkan. Namun tetap Abdullah yang terpilih oleh undian. Jumlah unta terus ditambah sepuluh demi sepuluh. Baru setelah seratus unta, untalah yang keluar dalam undian, meskipun itu diulang tiga kali. Abdullah selamat.
Peristiwa besar yang terjadi di masa Abdul Muthalib adalah rencana penghancuran Ka'bah. Seorang panglima perang Kerajaan Habsyi (kini Ethiopia) yang beragama Nasrani, Abrahah, mengangkat diri sebagai Gubernur Yaman setelah ia menghancurkan Kerajaan Yahudi di wilayah itu. Ia terganggu dengan reputasi Mekah yang menjadi tempat ziarah orang-orang Arab. Ia membangun Ka'bah baru dan megah di Yaman, serta akan menghancurkan Ka'bah di Mekah. Abrahah mengerahkan pasukan gajahnya untuk menyerbu Mekah.
Mendekati Mekah, Abrahah menugasi pembantunya -Hunata-untuk menemui Abdul Muthalib. Hunata dan Abdul Muthalib menemui Abrahah yang berjanji tak akan mengganggu warga bila mereka dibiarkan menghancurkan Baitullah. Abdul Muthalib pasrah. Menjelang penghancuran Ka'bah terjadilah petaka tersebut. Qur'an menyebut peristiwa yang menewaskan Abrahah dan pasukannya dalam Surat Al-Fil. "Dan Dia mengirimkan kepada mereka "Toiron Ababil", yang melempari mereka dengan batu-batu cadas yang terbakar, maka Dia jadikan mereka bagai daun dimakan ulat".
Pendapat umum menyebut "Toiron Ababil" sebagai "Burung Ababil" atau "Burung yang berbondong-bondong". Buku "Sejarah Hidup Muhammad" yang ditulis Muhammad Husain Haekal mengemukakannya sebagai wabah kuman cacar (mungkin maksudnya wabah Sampar atau Anthrax -penyakit serupa yang menewaskan sepertiga warga Eropa dan Timur Tengah di abad 14). Namun ada pula analisa yang menyebut pada tahun-tahun itu memang terjadi hujan meteor -hujan batu panas yang berjatuhan atau 'terbang' dari langit. Wallahua'lam. Yang pasti masa tersebut dikenal sebagai Tahun Gajah yang juga merupakan tahun kelahiran Muhammad.
Pada masa itu, Abdullah putra Abdul Muthalib telah menikahi Aminah. Ia kemudian pergi berbisnis ke Syria. Dalam perjalanan pulang, Abdullah jatuh sakit dan meninggal di Madinah. Muhammad lahir setelah ayahnya meninggal. Hari kelahirannya dipertentangkan orang. Namun, pendapat Ibn Ishaq dan kawan-kawan yang paling banyak diyakini masyarakat: yakni bahwa Muhammad dilahirkan pada 12 Rabiul Awal. Orientalis Caussin de Perceval dalam 'Essai sur L'Histoire des Arabes' yang dikutip Haekal menyebut masa kelahiran Muhammad adalah Agustus 570 Masehi. Ia dilahirkan di rumah kakeknya -tempat yang kini tak jauh dari Masjidil Haram.
Bayi itu dibawa Abdul Muthalib ke depan Ka'bah dan diberi nama Muhammad yang berarti "terpuji". Suatu nama yang tak lazim pada masa itu. Konon, Abdul Muthalib sempat hendak memberi nama bayi itu Qustam -serupa nama anaknya yang telah meninggal. Namun Aminah -berdasarkan ilham-mengusulkan nama Muhammad itu.
Dari Gembala ke Manajer
Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu, bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan pada orang lain yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui oleh Tsuaiba -budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui Hamzah -paman lainnya yang seusia Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari pekerjaan sebagai Ibu susu.
Semula Halimah menolak Muhammad. Ia menginginkan bayi yang bukan seorang yatim, dan keluarganya sanggup membayar lebih mahal. Tak ada bayi lain yang bisa disusui, Halimah pun membawa Muhammad ke kampungnya. Suasana perkampungan Bani Saad disebut lebih baik bagi pertumbuhan anak dibanding 'kota' Mekah. Udara di sana disebut lebih bersih, bahasa Arab-nya pun lebih asli. Di masa bersama Halimah itulah tersiar kisah mengenai Muhammad kecil.
Menurut kisah itu, Halimah menjumpai Muhammad dalam keadaan pucat. Disebutkan bahwa Muhammad baru didatangi dua orang -yang diyakini banyak kalangan sebagai malaikat. Orang tersebut kemudian membelah dada Muhammad. Banyak orang percaya, itu adalah proses malaikat "mencuci hati Muhammad'' sehingga bersih. Namun Haekal menyebut bahwa kisah tersebut lemah. Saat itu Muhammad dan anak Halimah yang menyertainya masih balita, sehingga kesaksiannya diragukan.
Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan Muhammad. Dalam perjalanan ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah Abdul Muthalib. Saat Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu membawanya ke Madinah menengok keluarga dan makam Abdullah, sang ayah. Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar 600 km bersama kafilah dagang yang menuju Syam.
Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun yatim piatu. Ia dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad berusia 8 tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu Abdul Muthalib yang hidup miskin. Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak pamannya berdagang ke Syam.
Terkisahkan, dalam perjalanan itu Abu Thalib bertemu pendeta Nasrani bernama Buhaira di Bushra. Sang pendeta memberi tahu bahwa Muhammad bakal menjadi Nabi besar. Maka, ia menyarankan Abu Thalib segera membawa pulang Muhammad agar tidak celaka olah ulah orang-orang yang tak suka. Perjalanan ke negeri asing untuk berbisnis pada usia semuda itu tentu memberi kesan kuat pada Muhammad.
Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad remaja mendapat sebutan Al-Amien, "yang dapat dipercaya", dari orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk kemaksiatan yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad selalu tertidur. Sedangkan ketajaman intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan para penyair.
Pada bulan-bulan suci, di beberapa tempat di dekat Mekah, selalu muncul pasar. Terutama di Ukaz yang berada di antara Thaif dan Nakhla, serta di Majanna dan Dzul-Majaz. Di hari pasar, para penyair membacakan sajak-sajaknya. Sebagian penyair itu beragama Nasrani maupun Yahudi. Mereka umumnya mengeritik bangsa Arab yang menyembah berhala. Peristiwa tersebut menambah sikap kritis Muhammad atas perilaku masyarakatnya.
Persoalan pasar di Ukaz itu menyeret Muhammad pada realita manusia: perang. Berawal dari pelanggaran kesepakatan sistem dagang yang dilakukan Barradz bin Qais dari kabilah Kinana yang memicu pelanggaran serupa 'Urwa bin 'Uthba dari kabilah Hawazin. Barradz lalu membunuh 'Urwa di bulan suci yang diharamkan terjadi pertumpahan darah. Kabilah Hawazin lalu mengangkat senjata terhadap kabilah Kinana. Karena kekerabatan, kaum Quraish seperti Muhammad membela kabilah Kinana.
Selama empat tahun, pertempuran berlangsung pada hari-hari tertentu setiap tahun. Itu terjadi saat Muhammad berusia sekitar 16 hingga 20 tahun. Disebutkan pula, di pertempuran itu Muhammad hanya bertugas mengumpulkan anak panah lawan. Ada juga yang menyebut dia pernah memanah lawan. Perang Fijar itu pun berakhir dengan kesepakatan damai.
Satu peristiwa penting yang jarang dikisahkan adalah bergabungnya Muhammad pada Gerakan Hilfil Fudzul. Sebuah gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Peristiwa itu terpicu oleh perampasan barang milik pedagang asing yang tiba di Mekah oleh Wail bin Ash. Zubair bin Abdul Muthalib mengajak keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym untuk menegakkan kembali kehormatan kota Mekah. Mereka berikrar di rumah Abdullah bin Jud'an untuk membentuk gerakan tersebut. Pada usia 20-an tahun, Muhammad aktif dalam Hilfil Fudzul itu. Ia ikut menyelamatkan gadis dari Bani Khais'am yang diculik Nabih bin Hajaj dan kawan-kawan.
Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25 tahun, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu. Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor unta. Khadijah setuju.
Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman - Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah, Maisarah. Bisnis tersebut sukses besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga semakin memahami konstalasi politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan Persia.
Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad. Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka, benih cinta pun perlahan bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.
Bersama Khadijah
Muhammad digambarkan sebagai seorang berperawakan sedang. Tidak kecil dan tidak besar. Rambutnya hitam berombak dengan cambang lebar. Matanya hitam, roman mukanya seperti selalu merenung. Ia gemar pula berhumor, namun tak pernah sampai tertawa terbahak yang membuat gerahamnya tampak. Ia juga tak pernah meledak marah. Kemarahannya hanya terlihat pada raut muka yang serius serta keringat kecilnya di dahi. Muhammad inilah yang dipertimbangkan Khadijah sebagai suaminya.
Saat itu Khadijah binti Khuwailid berusia 40 tahun -15 tahun lebih tua dibanding Muhammad. Ia pengusaha ternama di Mekah. Bisnisnya menjangkau wilayah Syria -daerah yang menjadi persimpangan antara "Jalur Sutera" Cina-Eropa dengan jalur Syria-Yaman. Ia cantik, lembut namun sangat disegani masyarakatnya. Orang-orang Mekah menjulukinya sebagai "Ath-Thahirah" (seorang suci) dan "Sayyidatul Quraish" (putri terhormat Quraish)." Khadijah dan Muhammad sama-sama keturunan Qushay.
Khadijah lalu menyampaikan keinginan menikah tersebut pada Muhammad, melalui Nufaisa -sahabatnya. Muhammad sempat gamang. Ia tidak punya apa-apa untuk menikah. Namun kedua belah pihak keluarga mendukung mereka. Dengan mas kawin 20 unta, Muhammad menikahi Khadijah. Paman Khadijah, Umar bin Asad menjadi wali lantaran Khuwailid telah meninggal sebelum Perang Fijar. Muhammad kemudian tinggal di rumah Khadijah.
Keluarga mereka tenteram dan damai. Pada usianya yang terbilang tua, Khadijah masih melahirkan enam anak. Dua anak pertama, Qasim dan Abdullah meninggal selagi kecil. Empat putri mereka tumbuh hingga dewasa. Zainab yang sulung dinikahkan dengan keponakan Khadijah, Abul'Ash bin Rabi'. Ruqaya dan Ummi Khulthum dinikahkan dengan kakak-adik putra Abu Lahab, paman Muhammad, yakni Uthba' dan Uthaiba. Setelah ajaran Islam turun, Abu Lahab meminta anak-anaknya menceraikan anak-anak Muhammad. Kelak mereka menikah dengan Khalifah Usman bin Affan, mula-mula Ruqaya yang kemudian wafat, lalu Ummi Khulthum. Si bungsu Fatimah masih kecil. Setelah masa Islam, Fatimah dinikahkan dengan Ali.
Perhatian pasangan Muhammad-Khadijah bukan hanya memikirkan keluarganya sendiri, melainkan juga orang lain. Setiap musim paceklik tiba, Halimah -Ibu susu Muhammad-selalu datang minta bantuan. Mereka akan membekali pulang Halimah dengan air serta bahan pangan yang diangkut unta untuk memenuhi kebutuhan warga desanya. Mereka juga menolong Abu Thalib dari kemiskinannya. Untuk itu, Muhammad menemui pamannya yang kaya Abbas untuk mengambil salah seorang anak Abu Thalib, Ja'far, sedangkan keluarga Muhammad mengasuh anak yang lain, Ali.
Muhammad mendapat penghormatan besar saat renovasi Ka'bah. Saat itu Ka'bah telah retak. Lokasinya di cekungan perbukitan batu, membuat Ka'bah selalu menjadi sasaran banjir di musim hujan. Masyarakat bermaksud membangun baru Ka'bah, namun tak seorang pun berani memulai merobohkannya. Setelah tertunda beberapa lama, Walid bin Mughirah memberanikan diri untuk memulai penghancuran itu. Ka'bah dibangun kembali hingga setinggi 18 hasta atau sekitar 11 meter. Pintunya ditinggikan dari tanah sehingga aman dari banjir. Enam tiang berderet tiga-tiga dipancangkan.
Untuk pembangunan itu, warga Mekah membeli kayu milik pedagang Romawi Baqum yang kapalnya pecah di dekat Jeddah. Baqum bahkan bersedia membantu pembangunan itu bila didampingi Kopti -tukang kayu Mekah. Pekerjaan berjalan lancar. Hubal, arca terbesar, telah dimasukkan ke dalam Ka'bah. Namun, kemudian muncul persoalan, yakni untuk menempatkan Hajar Aswad. Semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga Abdud-Dar dan 'Adi bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu.
Orang tertua dan dihormati di antara mereka, Abu Ummayah bin Mughira dari Bani Makhzum, mengajukan usul. Urusan penempatan Hajar Aswad agar diserahkan pada orang pertama yang masuk ke pintu Shafa. Siapapun dia. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.
Secara bijaksana, Muhammad melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: ia membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Muhammad mengangkat batu itu ke atas kain, lalu semua secara bersama-sama mengotong batu tersebut, kemudian Muhammad kembali mengangkat dan meletakkannya pada tempat semestinya. Semua puas.
Menjelang Wahyu Tiba
Mekah memang tampak tenang. Penduduk bekerja seperti biasa, dan sesekali -terutama bila menghadapi kesulitan-- datang ke Ka'bah untuk menyembah atau menyerahkan sesaji pada arca-arca. Ada 300-an arca di sana. Hubal adalah arca terbesar berbentuk laki-laki. Konon, patung itu terbuat dari batu akik.
Di perkampungan di luar Mekah, tiga berhala sangat didewakan. Mereka dinamai Lat, Uzza dan Manat. Ketiganya adalah patung berwujud perempuan. Penyembahan berhala itu bukan tidak masuk akal, namun juga tak membuat perilaku masyarakat mengarah pada kebaikan.
Diam-diam penolakan terhadap berhala mulai terjadi. Hal tersebut nyata ketika semua warga berkumpul di Nakhla menghormati Uzza. Beberapa orang menyelinap pergi. Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Zaid bin Amr, Usman bin Huwairith serta Ubaidullah bin Jahsy. Mereka berupaya mencari kebenaran yang dapat memuaskan dahaga rohani dan pikirannya.
Waraqah kemudian menjadi pemeluk teguh agama Nasrani. Demikian pula Usman yang pergi ke Romawi. Suatu saat, ia kembali ke Mekah dan berusaha menaklukkan wilayah tersebut sehingga ia diangkat menjadi Gubernur Romawi di situ. Namun ia dibunuh warga Arab. Ubaidullah sempat masuk Islam dan ikut hijrah ke Mesir, namun ia memutuskan tinggal di sana dan berganti agama menjadi Kristen. Istrinya, Ummu Habiba, tetap memeluk Islam dan dinikahi Rasulullah SAW setelah Khadijah wafat.
Muhammad telah berinteraksi dengan para pemeluk Nasrani dan Yahudi yang juga mengesakan Sang Pencipta. Secara diam-diam ia menggugat masyarakatnya yang menyembah berhala. Maka, Muhammad pun sering mengasingkan diri ke Gua Hira -tempat yang sangar namun berpemandangan indah di puncak bukit batu, 6 km di Utara Mekah. Sepanjang bulan Ramadhan, setiap tahun, Muhammad selalu berada di sana sendirian dengan hanya membawa sedikit bekal. Hati dan pikirannya bergolak mencari kebenaran, sampai terjadilah peristiwa itu.
Saat itu Muhammad berusia 40 tahun. Pada malam yang diyakini sebagai tanggal 17 Ramadhan, 610 Masehi, 'seseorang' yang kemudian diketahui sebagai Malaikat Jibril, mendatanginya di Gua Hira saat ia tertidur. Malaikat itu mendesaknya. "Bacalah," katanya. "Aku tak bisa membaca," kata Muhammad. "Bacalah," seru malaikat itu lagi dengan tangan seraya mencekik Muhammad. "Apa yang akan kubaca?" tanya Muhammad pula.
Selanjutnya, Malaikat itupun menuntunnya untuk membaca ayat-ayat yang kemudian disebut sebagai wahyu pertama bagi Muhammad SAW. "Bacalah! Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan pena. Mengajarkan manusia apa yang belum diketahuinya..."
Muhammad gemetar. Ia segera berlari menuruni gunung, pulang menjumpai Khadijah. Khadijah pun membimbing Muhammad, menyelimutinya di pembaringan, serta membesarkan hati suaminya dengan kata-kata.
"Wahai putra pamanku (cara Khadijah memanggil Muhammad), bergembiralah dan tabahkan hatimu. Demi Dia pemegang kendali hidup Khadijah, aku berharap engkau (Muhammad) akan menjadi Nabi atas umat ini. Allah sama sekali tak akan mempetolokkanmu, sebab engkau yang mempererat tali kekeluargaan, jujur dalam kata-kata; kau yang mau memikul beban orang lain, menghormati tamu dan menolong mereka yang dalam kesulitan atas jalan yang benar."
Malam itu, jarum waktu telah bergerak. Muhammad telah ditunjuk sebagai Rasul -detik-detik yang memungkinkan kebenaran tersebar ke seluruh jagad hingga sekarang. Juga yang membuat para pelaku keonaran dan kemaksiatan terus memusuhi Muhammad.
Awal Dakwah
Muhammad tertidur pulas. Saat itu, Khadijah keluar rumah menemui misannya, Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani yang saleh. Diceritakannya peristiwa yang dialami Muhammad di Gua Hira. Waraqah membesarkan hati Khadijah. Ia meyakini peristiwa itu adalah pengangkatan Muhammad sebagai Rasul. Sementara itu, dalam tidurnya, Muhammad kembali menggigil. Jibril datang menyampaikan wahyu berikutnya. "Wahai yang berselimut.! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Agungkan Tuhanmu, sucikan pakaianmu, dan hindarkan darimu dosa. Janganlah kau memberi karena ingin menerima lebih banyak. Demi Tuhanmu, tabahkan hatimu."
Muhammad terbangun gelisah. Khadijah terus menenteramkannya. Saat itu Muhammad, sempat gamang. Jangan-jangan yang menjumpainya bukan malaikat, melainkan setan. Dengan caranya sendiri, mereka mencoba menguji itu. Dikisahkan bahwa saat Jibril datang, Khadijah sengaja memangku Muhammad di pahanya. Muhammad masih melihat sosok itu. Baru setelah Khadijah menyingkap kain penutup mukanya, sosok itu menghilang dari pandangan Muhammad.
Keyakinan Muhammad menguat setelah ia, ketika hendak mengelilingi Ka'bah, bertemu Waraqah. Saat itu Waraqah meyakinkannya. "Demi Dia yang memegang hidup Waraqah. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang telah diberikan pada Musa. Kau pasti akan didustakan orang, disiksa, diusir dan diperangi. Kalau sampai waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaaan yang sudah diketahuinya." Untuk beberapa lama, malaikat tak lagi datang. Muhammad teramat gundah. Ia khawatir Tuhan meninggalkannya atau malah membencinya. Kabarnya, ia sempat berpikir untuk menjatuhkan diri dari Gua Hira atau dari puncak bukit Abu Qubais. Tapi tidak. Di tengah kegelisahannya, turunlah firman yang menegaskan bahwa "Tuhanmu tidak meninggalkanmu, juga tidak membenci" dalam rangkaian ayat yanh dikenal sebagai surat Adh-Dhuha.
Muhammad kemudian diajari cara salat. Ia selalu mempraktekkannya bersama Khadijah. Ali kecil yang tinggal bersama mereka pun ikut serta. Demikian pula Zaid bin Haritsah. Zaid adalah anak-anak yang diculik dari keluarganya dan dijual sebagai budak. Keluarga Muhammad membelinya, lalu mengangkatnya sebagai anak, sehingga sempat disebut Zaid bin Muhammad.
Merekalah orang-orang pertama yang meninggalkan berhala untuk menyembah hanya pada Allah. Sama seperti Isa, Musa, Ibrahim dan para Nabi lain. Kabar itu sampai pada Abu Bakar -sahabat Muhammad pemuka Kaum Taim. Abu Bakar mengenal Muhammad sebagai seorang lurus, maka ia segera menganut Islam. Abu Bakar bahkan dapat mengajak beberapa orang lainnya untuk mengikuti Muhammad.
Di antara para sahabat itu adalah Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Talha bin Ubaidillah juga Zubair bin Awwam. Melalui Abu Bakar, Saad bin Abi Waqas -keluarga Muhammad dari garis Aminah-juga memeluk Islam. Demikian pula Bilal, seorang asal Ethiopia yang menjadi budak Ummayah.
Saat itu, warga Mekah tidak banyak mempersoalkannya. Mereka menganggap Muhammad tak lebih dari seorang pendeta biasa sebagaimana Waraqah. Perselisihan baru muncul tiga tahun setelah masa kenabian. Allah memerintahkan Muhammad untuk tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam beragama dengan menyeru keluarga terdekat. (Qur'an Surat 26: 214-216). Muhammad kemudian mengundang keluarga dekatnya, Bani Hasyim untuk makan di rumahnya, lalu mengajak mereka menyembah Allah. Namun Abu Thalib menghentikan pembicaraan itu.
Esok harinya, Muhammad kembali mengundang lalu menyeru mereka. Sekali lagi, kerabat Muhammad itu hendak pergi. Saat itu Ali, yang masih anak-anak, berdiri dan mengatakan: "Rasulullah, saya akan membantumu. Saya adalah lawan siapa saja musuhmu." Seluruh yang hadir terbahak. Mereka menertawakan Muhammad, Ali serta Abu Thalib -ayah Ali.
Dikisahkan pula saat itu Muhammad menyatakan pembelaannya terhadap Ali dengan istilah bahwa Ali adalah pewarisnya, dirinya adalah pewaris Ali. Kelak, hal ini yang dipakai dasar pihak yang mengatakan bahwa Ali adalah satu-satunya pewaris untuk menjadi pemimpin umat sepeninggal Muhammad. Suatu persoalan yang bakal melahirkan pertikaian besar antar umat Islam.
Muhammad juga melakukan dakwah terbuka, yakni di bukit Shafa yang kini menjadi bagian dari Masjidil Haram. "Hai orang-orang Qurais," seru Muhammad dari puncak bukit itu. Orang-orang pun berdatangan. "Kalau kuberi tahu bahwa di bukit ini terdapat pasukan berkuda, percayakah kalian?"
"Ya," sahut mereka. "Kami tak pernah meragukan kejujuranmu. Kami belum pernah mendengar engkau berdusta" "Kalian kuperingatkan sebelum menghadapi siksa pedih, hai Bani Abdul Muthalib, Bani Abdul Manaf, Bani Zuhra, Bani Makhzum dan Bani Asad. Allah memerintahkan aku menyampaikan peringatan pada keluarga-keluargaku terdekat. Aku tidak dapat memberi keuntungan apapun pada kalian baik di dunia maupun akhirat kecuali kamu mengikrarkan 'La ilaha illallah' (tiada tuhan selain Allah)".
Seorang berpostur gemuk yang juga paman Muhammad, Abu Lahab menukas. "Celakah engkau Muhammad. Buat apa kau kumpulkan kami." Allah lalu menurunkan firman, Surat Al-Lahab, atas perilaku tersebut.
Muhammad terus menebar dakwah. Ia bukan saja menyeru untuk meninggalkan berhala, namun juga berbuat baik pada sesama, hidup berkasih sayang, tidak berlomba-lomba menumpuk harta. Pengaruh Muhammad semakin meluas. Hal tersebut meresahkan para pemuka Qurais. Mulailah perseteruan itu. Mula-mula mereka menyerang Muhammad dengan syair yang mengejek. Juga menuntut Muhammad untuk menunjukkan mukjizat.
Setelah Muhammad secara terbuka mengritik patung-patung sembahan di sekitar Ka'bah, mereka mendesak Abu Thalib untuk tidak melindungi Muhammad. Sepuluh orang ditugasi membawa misi tersebut. Mereka adalah Abu Sufyan bin Harb, Uthbah dan Syaibah bin Rabi'ah, Nubaih dan Munabbih bin Hajjaj, Ash bin Wail, Walid bin Mughirah, Abu Bakhtarif, Jawad bin Muthalib serta Abu Jahal bin Hisyam.
Beberapa kali, kaum kafir mendesak Abu Thalib. Mereka bahkan menawarkan seorang pemuda tampan, Umara bin Walid agar dipungut sebagai anak Abu Thalib asalkan Muhammad diserahkan kepada mereka. Abu Thalib menolak permintaan itu. Namun ia menyampaikan pula desakan para tokoh Qurais itu pada Muhammad.
Muhammad kukuh pada sikapnya. "Paman, demi Allah, sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tak akan kulakukan sampai Allah membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku mati karenanya.".
Siksaan Demi Siksaan
Abu Thalib enggan menyerahkan Muhammad. Ketegangan di Mekah pun kian sengit. Saad bin Abu Waqas telah dipukuli Abu Jahal dan kawan-kawan. Bilal telah dipaksa oleh tuannya, Umayah, untuk meninggalkan Islam. Ia dicambuki dan diikat telentang di tengah terik padang pasir dengan batu besar menindih perut dan dadanya.
"Ahad...ahad, (Yang Esa..Yang Esa)," desis Bilal yang enggan menyerah, sampai kemudian Abu Bakar datang membeli dan membebaskannya. Abu Bakar juga menyelamatkan budak perempuan Umar bin Khattab. Umar saat itu masih memusuhi Islam.
Muhammad tak luput dari gangguan. Abu Jahal melemparinya dengan isi perut kambing yang baru disembelih. Istri Abu Jahal, ikut melemparkan kotoran binatang ke depan rumah Muhammad. Abu Jahal terus memaki-maki dan mengganggu Muhammad. Ini didengar oleh Hamzah -paman yang juga saudara susu Muhammad. Sepulang dari berburu, ia segera menemui Abu Jahal yang berada di Ka'bah dan menghantamkan busurnya. Hamzah kemudian menemui Muhammad dan menyatakan masuk Islam. Keberadaan Hamzah -yang secara fisik dianggap jagoan-membuat gentar musuh-musuh Muhammad.
Kaum Qurais lalu minta Uthba bin Rabi'ah , seorang yang disegani di sana, membujuk Muhammad. Ia menawarkan apapun yang Muhammad hendak minta asalkan bersedia kembali pada tradisi. Muhammad menyambut Uthba' dengan membacakan surat As-Sajadah (Surat 32). Bacaan yang justru membuat Uthba' terpesona.
Gangguan terhadap pengikut Muhammad kian mengeras. Bahkan ada yang disiksa sampai meninggal meskipun tak ada riwayat yang menyebut pasti nama mereka yang telah mati syahid. Untuk melindungi pengikutnya, Muhammad menyarankan sebagian mereka pindah ke Habsyi -Mesir. Raja Najasyi (Negus) dikenal sebagai seorang Nasrani yang bijak. Sebelas laki-laki dan empat perempuan berangkat dengan berpencar. Menyangka keadaan telah aman, mereka pun pulang. Namun tekanan yang tak kunjung henti, membuat kaum muslimin kembali Hijrah ke Habsyi. Pada gelombang kedua ini, sebanyak 80 laki-laki -tanpa perempuan dan anak-anak-yang berhijrah. Mereka terus tinggal di sana sampai Muhammad hijrah ke Yatsrib atau Madinah.
Kaum Qurais Mekah mengutus Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabia menemui Raja Najasyi. Keduanya minta agar pendatang dari Mekah itu diusir. Sebelum mengambil keputusan, raja meminta orang-orang Islam menjelaskan sikapnya. Dengan penjelasan yang sangat baik, Ja'far bin Abu Thalib berhasil meyakinkan pandangannya. Ja'far juga mengutip ayat-ayat Surat Maryam yang membuat Raja Najasyi semakin percaya pada mereka. Ia berjanji akan tetap melindungi orang-orang Islam. "Antara agama Anda dan agama kami tidak lebih dari garis ini," kata Najasyi sambil menggoreskan tongkat di tanah.
Di Mekah satu peristiwa terjadi. Muhammad, Hamzah, Abu Bakar, Ali dan beberapa sahabat tengah berkumpul di rumah Arqam, dekat bukit Shafa. Umar bin Khattab -seorang temperamental dan tukang berkelahi di lingkungan Qurais- menuju ke sana. Ia menghunus pedang dan mengaku hendak membunuh Muhammad. Nu'aim bin Abdullah yang berpapasan dengan Umar mengatakan bahwa Bani Abdul Manaf akan menuntut balas bila Muhammad sampai tewas. Mengapa Umar tak mengurus keluarganya sendiri? Ketika itu, Fatimah adik Umar beserta suaminya, Said bin Zaid telah masuk Islam.
Umar lalu berbalik, dan menerjang rumah Fatimah. Ia memukul muka Said hingga berdarah. Sedangkan Fatimah tengah membaca Quran. Namun timbul rasa ibanya pada Said. Ayat-ayat Quran yang dibaca Fatimah menyentuh hatinya. Maka Umar bergegas menemui Muhammad dan mengucap "syahadat". Sejak itu, Umar bersama Hamzah menjadi pilar yang melindungi Muhammad dari musuh-musuhnya.
Muhammad terus berdakwah. Ia sering terlihat berdiskusi dengan Jabir, seorang budak Nasrani, di Marwa. Ia dituding menyebarkan ajaran yang dibawa Jabir. Atau sebagai seorang ahli retorika dan pendongeng yang lihai memukau pendengarnya. Orang-orang Qurais mencoba mengimbanginya melalui Nadzer bin Harith. Hal demikian menimbulkan rasa penasaran Tufail ad-Dausi -seorang intelektual setempat-untuk membuntuti Muhammad. Ujungnya, ia masuk Islam. Tufail tahu syair atau gubahan terbaik manusia. Ayat-ayat Quran bukan seperti itu.
Sebenarnya banyak pemuka Qurais yang tertarik mendengar ajaran yang disampaikan Muhammad. Abu Sufyan, Abu Jahal dan Akhnas bin Syariq pernah dipergoki diam-diam mendengarkan Muhammad membaca ayat-ayat Quran. Namun mereka merasa kehilangan harga diri bila mengikuti seruan Muhammad. Muhammad pun mencoba merangkul para pemuka Qurais. Di antaranya adalah dengan mendekati Walid bin Mughirah. Pada saat berbicara dengan Walid itulah terbukti bahwa Muhammad juga seorang manusia biasa seperti kita: dapat berbuat keliru.
Saat itu, seorang tuna netra Ibnu Ummu Maktum menemuinya untuk bertanya soal Islam. Muhammad yang tengah sibuk bicara dengan Walid mengabaikannya. Allah pun menegur perilaku Muhammad itu dengan Surat Abasa: "Ia masam dan membuang muka. Ketika seorang buta mendatanginya ....." Allah mengingatkan bahwa Ibnu Ummu Maktum datang dengan lebih tulus. Sedangkan Walid -menurut riwayat-adalah orang yang iri mengapa Quran tidak turun pada pemuka masyarakat sepertinya
Perjalanan Malam ke Baitul Maqdis
Muhammad terus berdakwah. Khadijah dengan sabar terus mendorong suaminya itu sampai harta keluarga mereka habis. Tekanan semakin keras. Selama tiga tahun kaum Qurais mengucilkan orang-orang Islam. Mereka hanya dapat tinggal di celah-celah batu pebukitan dengan bergantung makan pada rumput-rumput kering.
Seorang Qurais, Hisyam bin Amir bersimpati pada keadaan orang-orang Islam itu. Ia menghubungi Zuhair dari Bani Makhzum, Muth'im dan Bani Naufal serta Abu Bakhtari dan Zam'a dari Bani Asad untuk menghentikan pengucilan itu. Ia ingatkan betapa buruk kelaparan yang diderita Muhammad dan pengikutnya, sedangkan saudara-saudara lainnya hidup berkelimpahan.
Mereka lalu datang ke Ka'bah. Di dinding Ka'bah dicantumkan piagam pengucilan itu. Pengucilan tidak berlaku lagi bila piagam tersebut dirobek. Setelah mengelilingi Ka'bah tujuh kali, Hisyam mengumumkan rencana perobekan piagam. Abu Jahal menentangnya. Namun sebagian besar orang Qurais mendukung Hisyam. Ketika Hisyam hendak merobek piagam itu -demikian menurut riwayat-rayap telah menggerogoti piagam itu hingga tinggal bagian atasnya yang bertulis "Atas nama-Mu ya Allah".
Kaum Qurais sebenarnya tidak menolak menyembah Allah Sang Pencipta. Mereka hanya ingin dibolehkan untuk tetap juga menyembah berhala serta melaksanakan tradisi yang banyak diwarnai maksiat. Maka, persis setelah penghapusan piagam itu, mereka mengajak Muhammad berkompromi. Suatu malam, dalam pertemuan sampai pagi, mereka telah menyebut Muhammad sebagai "pemimpin kami". Mereka hanya minta sedikit kelonggaran menjalani kehidupan lamanya.
Sekali lagi, Muhammad adalah manusia. Dalam keadaan yang sangat lemah baik fisik maupun psikis, ia nyaris menerima kompromi itu. Setidaknya itu yang diungkapkan penulis Hayat Muhammad, Muhammad Husain Haikal, yang mengutip hadis dari Said bin Jubair dan Qatada. Sebagaimana saat mengabaikan Ibnu Ummu Maktum, kali ini Muhammad ditegur Allah kembali. Yakni melalui ayat Quran Surat 17(Al-Isra):73-75). Namun hadis Ata' dari Ibn Abbas menyebut bahwa konteks turunnya ayat ini adalah peristiwa saat Muhammad bimbang atas permintaan orang-orang Thaqif. Mereka bersedia memeluk Islam asal daerahnya dinyatakan sebagai tanah suci seperti Mekah.
Tak lama setelah peristiwa itu, Muhammad mengalami musibah besar. Abu Thalib -paman yang telah memeliharanya sejak kecil serta terus melindunginya sebagai rasul-wafat. Hanya beberapa bulan kemudian, Khadijah yang menjadi sandaran hati Muhammad -orang yang paling setia menghibur dan menemani di masa yang paling sulit sekalipun-menyusul wafat. Muhammad sangat berduka. Sedangkan orang-orang Qurais makin gencar mengganggunya.
Muhammad lalu pergi Ta'if, menjajaki sekiranya masyarakat di daerah pertanian subur itu bersedia mendengar seruannya. Seorang diri ia pergi ke sana. Namun yang ditemui hanyalah sorak sorai hinaan serta lemparan. Dengan sedih Muhammad menghindar dari mereka dan berlindung di kebun anggur milik dua saudara 'Uthba dan Syaiba anak Rabi'a. Di sanalah Muhammad memanjatkan doa kepiluannya. Hanya dengan Adas -seorang Nasrani budak Uthba' yang memberikan anggur padanya-Muhammad sempat berbincang. Kabarnya, Adas sempat heran bagaimana Muhammad mengenal nama (Nabi) Yunus anak Matta.
Muhammad kemudian menikahi Aisyah, putri Abu Bakar, yang kala itu baru berusia tujuh tahun. Dalam kultur Arab, perkawinan adalah salah satu tradisi untuk mempererat persahabatan. Aisyah tetap tinggal di rumah ayahnya dan tidak digauli Muhammad sampai beberapa tahun kemudian. Muhammad juga menikahi janda miskin Sauda. Suami terdahulu Sauda adalah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi, lalu meninggal di Mekah. Dua perkawinan ini, juga yang lain, cukup menjelaskan latar belakang pernikahan-pernikahan Muhammad setelah Khadijah wafat.
Sekitar tahun 621 Masehi, terjadilah peristiwa Isra' Mi'raj. Muhammad tengah menginap di rumah keluarga sepupunya, Hindun binti Abu Thalib. Menurut Hindun, malam hari selesai salat terakhir, semua anggota keluarga tidur. Demikian pula Muhammad. Pagi harinya, mereka salat bersama. Usai salat itulah Muhammad berkata: "Ummi Hani (panggilan Hindun), saya salat akhir malam bersama kalian seperti yang kalian lihat di sini. Lalu saya ke Baitul Maqdis (Yerusalem) dan salat di sana, sekarang saya salat siang bersama-sama seperti yang kalian lihat."
Hindun minta Muhammad untuk tidak menceritakan kisah tersebut karena akan mengundang kegemparan. "Tapi saya harus ceritakan (ini) pada mereka," kata Muhammad. Allah pun menegaskan peristiwa itu dalam Surat 17 (Al-Isra): 1.
Kegemparan pun terjadi. Sangat banyak kisah yang beredar mengenai peristiwa tersebut, baik dongeng sama sekali tanpa dasar maupun kisah yang berdasar. Di antara kisah tersebut adalah mitos 'Buraq' yang disebut kuda pirang dengan rumbai emas dan mutiara dan bersayap gemerlapan, Juga mengenai kesaksian Muhammad terhadap berbagai jenis siksaan di akhirat; pertemuannya dengan para Nabi terdahulu, serta tawar-menawar antara Muhammad dengan Allah sehingga salat yang diwajibkan hanya 5 kali, bukan 50 kali, dalam sehari. Allah Maha Tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Yang menjadi perdebatan serius adalah bagaimana Muhammad dapat menempuh jarak Mekah-Yerusalem hanya sekejap? Juga apakah yang melakukan perjalanan itu ruh Muhammad saja atau juga termasuk jasadnya. Pertanyaan yang wajar untuk tingkat pengetahuan masyarakat pada masa itu. Kini, teori Einstein dapat menjelaskan kebingunan tersebut. Dari Teori Relativitas dapat dijelaskan bahwa zat (termasuk tubuh manusia) akan berubah wujud menjadi enerji bila dibawa oleh enerji (termasuk malaikat). Sedangkan enerji dapat bergerak pada kecepatan yang sama dengan kecepatan cahaya, sekitar 300 ribu km per detik, sehingga jarak Mekah - Yerusalem dapat ditempuh dalam sekejap mata. Serupa dengan pemindahan singgasana Ratu Bilqis di masa Sulaiman.
Muhammad saat itu berusia 51 tahun. Perjalanan ke Baitul Maqdis serta Sidratul Muntaha itu kian mengobarkan semangat perjuangannya untuk menyeru seluruh umat manusia ke Jalan Allah. Apalagi, ia telah melihat sinar terang bagi Islam telah mulai terlihat di Yatsrib.
Secercah Sinar di Aqabah
Muhammad memiliki darah Yatsrib. Kakeknya, Abdul Muthalib, adalah putra perempuan Khazraj paling disegani, Salma. Di saat Muhammad dimusuhi masyarakatnya sendiri di Mekah, orang-orang Yatsrib tengah mencari figur pemimpin yang dapat menyatukan mereka. Muhammad adalah figur yang memenuhi harapan itu.
Proses pencarian pemimpin itu berlatar pada kemelut yang menimpa bangsa Arab di Yatsrib, yang terbagi atas kabilah Khazraj dan Aus. Berbeda dengan masyarakat Mekah yang cenderung kasar dan berprofesi dari pedagang hingga perampok, orang-orang Yatsrib umumnya adalah petani yang santun dan lembut hati. Namun mereka baru mengalami tragedi memilukan, yakni pertempuran antara bani Khazraj dan Aus yang berpuncak pada insiden Buth'ah.
Pada mulanya, kedua kabilah itu hidup rukun. Mereka umumnya hanya pekerja kecil. Sedangkan perekonomian dan kehidupan sosial dikendalikan Yahudi. Namun Yahudi dihancurkan kerajaan Romawi, termasuk di Yatsrib. Romawi bahkan menggunakan orang-orang Aus dan Khazraj untuk menggusur posisi Yahudi. Orang-orang Yahudi tak ingin kehilangan kendali atas kota itu. Maka mereka memprovokasi kedua kabilah tersebut sehingga perang.
Aus sempat kalah melawan Khazraj. Mereka melarikan diri ke arah Najd hingga Abu Usaid Hudzair berbalik arah dan bertekad untuk memerangi Khazraj sampai mati. Orang-orang Aus terbakar oleh semangat Abu Usaid. Mereka ganti menyerbu Khazraj. Kebun-kebun kurma dan rumah-rumah mereka bakar habis. Abu Usaid keluar masuk rumah demi rumah untuk membunuh setiap penghuninya. Abu Qais datang mencegahnya dengan mengatakan bahwa "Bertetangga dengan mereka (Khazraj) lebih baik dari bertetangga dengan rubah (Yahudi)."
Pertikaian hanya akan membuat kerusakan bersama. Itu keyakinan mereka. Kedua kabilah itu lalu bertekad membangun kehidupan baru. Beberapa orang Yatsrib telah mengenal Muhammad saat mereka berziarah, serta saat mencari persekutuan dengan Mekah. Seorang pemuda Yatsrib, Iyas bin Mu'adh, bahkan telah masuk Islam. Di saat masyarakatnya berembug mencari pemimpin itu, pemuka Yatsrib yang tengah berziarah ke Mekah bertemu dengan Muhammad. Ia, Suwaid bin Shamit, malah masuk Islam setelah Muhammad memperdengarkan ayat-ayat Quran.
Pada musim ziarah di bulan suci tahun berikutnya, 12 orang utusan warga Yatsrib pun menemui Muhammad. Mereka bertemu di bukit Aqaba pada hari Tasriq -hari setelah Idul Adha- setelah menempuh perjalanan secara sembunyi-sembunyi. Mereka kemudian berikrar yang disebut sebagai ikrar Aqaba pertama.
Isi ikrar itu adalah pernyataan untuk hanya menyembah Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah baik di depan maupun belakang, tidak menolak berbuat baik. Siapa yang mematuhi semua itu akan memperoleh pahala surga, jika ada yang menyalahinya maka persoalannya diserahkan pada Tuhan. Tuhan berkuasa untuk menyiksa serta berkuasa mengampuni segala dosa.
Muhammad kemudian menugasi Mushab bin Umair ikut bersama mereka ke Yatsrib. Ia bertugas mengajarkan Islam pada warga kota itu. Mushab pula yang melaporkan pada Muhammad kesungguhan orang-orang Yatsrib untuk memeluk Islam.
Pada 622 Masehi, rombongan kedua warga Yatsrib tiba menemui Muhammad. Mereka sebanyak 73 orang laki-laki dan dua perempuan. Setelah saling mengucap janji setia, Muhammad meminta mereka memilih 12 wakil. Dua belas orang itu yang mengucap ikrar di tengah gelap malam di celah bukit Aqaba. Sebelum ikrar, warga Yatsrib sempat minta Muhammad agar mengingatkan Bara' bin Ma'rur yang dalam salatnya selalu menghadap ke Mekah, agar mengalihkannya ke arah Baitul Maqdis sebagaimana Muhammad dan yang lain.
Pertemuan Aqaba itu bocor ke telinga orang-orang Qurais. Mereka segera pergi ke sana. Namun orang-orang telah pergi, kecuali Saad bin Ubada yang masih berada di Aqaba. Saad kemudian dibawa ke Mekah dan disiksa. Ia diselamatkan Jubair bin Mut'im yang pernah ditolongnya dalam perjalanan ke Syam.
Persekutuan telah diikat. Muhammad telah membuat langkah strategis: bersumpah setia dengan warga Yatsrib. Jika terjadi sesuatu pada Muhammad, kini bukan saja keluarga Hasyim yang akan membela. Orang-orang Yatsrib yang juga mempunyai ikatan darah dengan Muhammad akan pula bertindak. Apalagi orang-orang Yatsrib itu telah memeluk Islam.
Nilai strategis langkah Muhammad semakin nampak bila melihat posisi Yatsrib yang berada di jalur perdagangan Mekah dengan Syam. Orang-orang Qurais akan kesulitan untuk berdagang ke Syam jika bermusuhan dengan warga Yatsrib. Keadaan demikian semakin membuat gusar orang-orang Qurais.
Mereka lalu merancang siasat. Dalam pertemuan di Darun Nadwa, mereka bersepakat. Para pemuda dari setiap kabilah akan ditugasi membunuh Muhammad secara bersama untuk kemudian berpencar. Dengan demikian kesalahan tidak dapat ditimpakan pada salah satu kabilah. Setelah itu, mereka secara bersama akan membayar kematian itu dengan tebusan unta.
Bau amis darah semakin kuat tercium. Namun Muhammad tampak tenang-tenang saja. "Jangan tergesa-gesa," kata Muhammad ketika Abu Bakar minta izin untuk hijrah ke Yatsrib. n
Drama Hijrah
Haekal melukiskan kisah ini sebagai "kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya, demi kebenaran, keyakinan dan iman".
Yatsrib atau Madinah sudah pasti menjadi masa depan Muhammad dan pengikutnya. Puluhan muslimin telah menyelinap pergi ke sana. Kaum Qurais tak terlalu peduli. Perhatian mereka pada Muhammad yang masih di Mekah yang tak akan mereka biarkan lolos. Padahal Muhammad telah siap untuk pergi. Abu Bakar telah menyiapkan dua unta baginya dan bagi Muhammad. Unta itu dipelihara Abdullah bin Uraiqiz.
Sampai pada harinya, perintah Allah untuk hijrah pun turun. Muhammad memberi tahu Abu Bakar. Para pemuda Qurais juga semakin ketat memata-matai rumah Muhammad. Mereka sesekali mengintip ke dalam rumah, melihat Muhammad berbaring di tempat tidurnya. Namun Muhammad meminta Ali mengenakan mantel hijaunya dari Hadramaut serta tidur di dipannya. Kaum Qurais tenang. Mereka pikir Muhammad masih tidur. Ketika esok harinya mendobrak pintu rumah Rasul, mereka hanya mendapati Ali yang mengaku tak tahu menahu tentang keberadaan Muhammad.
Malam itu, Muhammad telah menyelinap dari jalan belakang. Bersama Abu Bakar, ia berjalan mengendap dalam gelap, menuju sebuah gua di bukit Tsur. Sebuah pilihan cerdik. Kaum Qurais tentu menduga Muhammad menuju Yatsrib di utara Mekah. Muhammad malah melangkah ke selatan. Kejadian ini juga memperlihatkan bahwa Muhammad tetap menggunakan nalar yang wajar sebagai manusia. Jika mau, ia dapat meminta perlindungan Allah berwujud kesaktian seperti yang dikejar-kejar banyak manusia sekarang. Tapi tidak, Muhammad menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama untuk kepentingan semacam itu.
Muhammad dan Abu Bakar hanya menjalankan siasat biasa. Dalam persembunyiannya, mereka tetap memasang telinga melalui Abdullah, anak Abu Bakar, yang tetap tinggal di Mekah. Setiap malam, Abdullah menemui mereka di gua melaporkan perkembangan suasana serta mengirim makanan yang disiapkan Aisyah dan saudaranya, Asma. Setiap pagi, pembantu Abu Bakar -Amir bin Fuhaira-menggembala kambing menghapus jejak itu.
Tiga malam mereka bersembunyi di gua itu. Satu riwayat menyebut sejumlah pemuda Qurais telah mencapai bibir gua. Abu Bakar gemetar meringkuk di sisi Muhammad. Saat itu, Muhammad berbisik. "La tahzan, innallaaha ma'ana (Jangan sedih, Allah bersama kita) ". Rasul juga menghibur dengan kata-kata, "Abu Bakar, kalau kau menduga kita hanya berdua, Allah-lah yang ketiga." Orang-orang Qurais itu lalu pergi. Konon mereka melihat sarang laba-laba serta burung merpati mengerami telur di mulut gua. Tak mungkin Muhammad bersembunyi di situ.
Setelah aman, Abdullah bin Uraiqiz membawa keluar mereka. Tiga unta beriringan ke Barat, berbekal makanan yang diikat dengan sobekan sabuk Asma. Abu Bakar disebut membawa seluruh uang simpanannya sebesar 5 ribu dirham. Mereka berjalan berputar menuju arah Tihama, dekat Laut Merah, melalui jalur yang paling jarang dilalui manusia. Baru kemudian mereka berbelok ke utara, ke Yatsrib, menapaki terik gurun. Siang-malam mereka terus berjalan.
Kaum Qurais membuat sayembara dengan hadiah 100 unta bagi yang dapat menangkap Muhammad. Suraqa bin Malik tergiur iming-iming itu. Ketika mendengar info ada tiga orang berunta beriringan, ia mengelabui kawan-kawannya. "O.. itu adalah si anu," begitu kira-kira ucapan Suraqa. Namun ia kemudian memacu kudanya sendirian mengejar Muhammad. Sedemikian menggebu Suraqa, sehingga kudanya tersungkur. Sekali lagi, ia tersungkur setelah dekat dengan Muhammad. Suraqa lalu menyerah karena menganggap dirinya tengah sial.
Dua pekan kemudian, Muhammad tiba di Quba -desa perkebunan kurma di luar kota Yatsrib. Ia tinggal di sana selama empat hari dan membangun masjid sederhana. Di sana pula Muhammad bertemu kembali dengan Ali yang berjalan kaki ke Yatsrib. Mereka kemudian berjalan bersama menuju kota, dan disambut sangat meriah oleh warga Yatsrib dengan bacaan salawat. Orang-orang Arab -baik yang Islam maupun penyembah berhala-serta orang-orang Yahudi tumpah ruah untuk melihat sosok Muhammad yang banyak diperbincangkan.
Orang-orang berebut menawarkan rumahnya sebagai tempat tinggal Rasul. Tapi Muhammad menyebut bahwa ia akan tinggal di mana untanya berhenti sendiri. Sampai ke sebuah tempat penjemuran korma, unta itu berlutut. Muhammad menanyatakn tempat itu milik siapa. Ma'adh bin Afra menjawab, rumah itu milik Sahal dan Suhail -dua orang yatim dari Banu Najjar.
Setelah dibeli, rumah itu pun dibangun menjadi masjid. Hanya sebagian dari ruangan masjid itu yang beratap. Di sanalah orang-orang miskin --dari berbagai tempat yang datang menemui Muhammad untuk memeluk Islam-- kemudian ditampung. Muhammad membangun rumah kecil bagi keluarganya di sisi masjid itu. Semasa pembangunan rumah itu, Rasul tinggal di rumah keluarga Abu Ayyub Khalid bin Zaid. Sekarang masjid yang dibangun Rasulullah itu menjadi masjid Nabawi yang teduh di Madinah. Sedangkan rumah tinggalnya menjadi tempat makam Rasul yang kini berada di dalam masjid Nabawi.
Pada usia 53 tahun -setelah 13 tahun masa kerasulannya serta membangun pondasi keislaman-Muhammad membuat langkah besar itu: hijrah. Langkah berbahaya namun mengantarkannya menjadi pemimpin utuh. Pemimpin keagamaan, kemasyarakatan juga politik. Peristiwa pada tahun 623 Masehi itu sekaligus mengajarkan keharusan umat Islam untuk berani menempuh langkah besar untuk mencari lingkungan atau lahan baru yang memungkinkan benih kebenaran dan kebajikan tumbuh lebih subur.
Masa Awal di Madinah
Tak mudah bagi Rasulullah menjalani hari-hari pertamanya di Madinah. Berbagai masalah telah menghadang. Para pengikutnya asal Mekah, muhajirin, tak mempunyai makanan, apalagi pekerjaan. Antara Muhajirin dan Anshar dapat bersaing berebut hati Muhammad. Kaum Khazraj dan Aus masih mungkin bertikai lagi. Musuh setiap saat dapat menyerang. Baik kaum Qurais di Mekah, maupun Yahudi tetangga mereka sendiri.
Di saat begitu pelik, Rasulullah mencetuskan gagasan. Sebuah gagasan cemerlang menurut ilmu strategi lantaran memenuhi kriteria "sangat sederhana" dan "sangat mudah dilaksanakan". Yakni mempersaudarakan satu orang dengan satu orang lainnya, tanpa peduli asal-usul Mekah atau Madinah serta dari keluarga manapun. Cara seperti itu sekarang dipakai dalam pelatihan atau 'training' yang dikembangkan masyarakat Barat. Mereka menggunakan istilah 'buddy system'. Setiap dua orang saling "menjaga" dengan cara membantu dan mengingatkan masing-masing.
Dengan cara itu berbagai persoalan teratasi sekaligus. Mereka tinggal memusatkan perhatian pada berbagai persoalan di depan. Muhammad "bersaudara" dengan Ali. Hamzah dengan Zaid yang dulu menjadi budaknya. Abu Bakar dengan Kharija bin Zaid. Umar dengan Ithban bin Malik.
Satu riwayat menjelaskan pola persaudaraan itu. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan seorang Anshar -warga asli Madinah- Sa'ad bin Rabi'. Sa'ad menawarkan separuh hartanya, namun Abdurrahman menolak. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sana, ia berdagang mentega dan keju sehingga sukses besar. Kisah lain menyebutkan bahwa Abdurrahman juga dipinjami uang. Dengan uang itu ia membeli sebidang tanah di samping pasar yang telah ada.
Saat itu, pasar yang ada adalah milik seorang Yahudi dengan konsep serupa mal sekarang. Pedagang boleh berjualan di pasar itu dengan menyewa tempat pada pemilik tanah. Abdurrahman lalu membuat pengumuman bahwa siapa saja boleh berdagang di tanahnya tanpa harus menyewa. Hanya bila untung, pedagang menyisihkan sebagian uang ("fee" atau "bagi hasil") bagi Abdurrahman selaku pemilik tanah. Bila tidak ada keuntungan mereka tak perlu membayar apapun.
Sontak, hampir semua pedagang pindah ke "pasar" Abdurrahman bin Auf. Bagi mereka, sistem ini lebih adil dan tak merugikan pedagang sama sekali. Maka, konsep Abdurrahman bin Auf ini menjadi salah satu rujukan bagi pengembangan sistem ekonomi syariah sekarang.
Muhammad lalu membangun budi pekerti atau akhlak masyarakat. Ia percaya, itulah pondasi untuk membangun masyarakat. Ia tekankan pentingnya semua orang untuk berlaku santun dan saling menghormati. Ia tunjukkan keutamaan manusia untuk bekerja dan bukan meminta-minta. Ia tegaskan "tangan di atas (memberi) lebih baik dari tangan di bawah (menerima)." Juga keharusan untuk membantu tetangga atau orang kesusahan tanpa melihat suku maupun agama. Muhammad bahkan melarang pengikutnya untuk menghormati dirinya secara berlebihan. Ia tak mau dihormati berlebihan seperti penghormatan yang diberikan pada Nabi Isa.
Pada masa inilah, ibadah ritual diajarkan. Mulai dari salat, puasa hingga zakat. Rasul juga menyeru pentingnya salat berjamaah. Lalu ia dan para sahabat berdiskusi soal bagaimana mengingatkan datangnya waktu salat. Ada usulan agar menggunakan terompet seperti Yahudi. Atau dengan lonceng seperti kaum Nasrani. Namun kemudian Rasul meminta Bilal -melalui Abdullah bin Zaid- untuk menyerukan azan. Sejak itu, setiap waktu salat tiba, Bilal selalu berdiri di atap rumah seorang perempuan Banu Najjar di samping masjid untuk menyeru azan. Tempat itu lebih tinggi ketimbang atap masjid.
Rasul pun membangun Madinah sebagai sebuah 'Republik kota'. Untuk itu ia merumuskan deklarasi yang mengikat seluruh warga. Isi deklarasi yang sangat menyeluruh itu antara lain adalah jaminan bagi "kebebasan beragama". Mula-mula, deklarasi ditandatangani bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian juga dengan Bani Quraiza, Bani Nadzir dan Qainuqa.
Hubungan harmonis Muslim-Yahudi tersebut menarik perhatian kalangan Nasrani. Saat itu, di kancah global, Nasrani mengusai peta politik melalui dominasi Kerajaan Romawi. Rombongan kaum Nasrani dari Najjran -yang disebut menggunakan "60 kendaraan"-pun berkunjung ke Madinah. Maka terjadilah dialog antar agama yang langsung melibatkan Rasulullah.
Namun, hubungan antar agama tak selalu mulus. Para pemuka Yahudi acap melancarkan polemik terhadap Islam. Mereka menguasai dalil-dalil yang diturunkan oleh Musa. Mereka juga lebih berpendidikan ketimbang orang-orang Qurais di Mekah. Muhammad kini menghadapi tantangan baru yang lebih sulit: perang wacana atau argumentasi. Sebuah tantangan serupa yang harus dihadapi umat Islam di abad 21 ini.
Saat itu Muslim dan Yahudi sama-sama menghadap Baitul Maqdis-Yerusalem, dalam beribadah. Allah kemudian menurunkan wahyu agar Umat Islam beralih untuk menghadapkan wajah ke Ka'bah di Mekah. Wahyu tersebut turun saat Muhammad tengah salat dhuhur berjamaah di rumah seorang janda tua. Muhammad dan beberapa sahabat datang untuk menghibur perempuan yang baru ditingal mati keluarganya itu. Konon, Muhammad hendak pulang sebelum dhuhur. Namun perempuan itu menahannya, meminta Muhammad untuk menunggu makan siang yang tengah disiapkannya.
Seperti biasanya, Muhammad salat menghadap ke Yerusalem, dari Madinah ke arah utara. Begitu wahyu tersebut turun di tengah salat, Muhammad membalikkan badan menghadap ke selatan, ke arah Ka'bah di Mekah. Rumah perempuan itu sekarang menjadi Masjid Kiblatain -atau masjid dengan dua kiblat di Madinah.
Perang Badar
Kehidupan di Madinah semakin stabil. Perekonomian berjalan lancar. Muhammad perlu menjaga ketenangan tersebut. Maka ia pun membangun kekuatan tempur. Beberapa ekspedisi militer dilakukan. Diantaranya dengan mengirim ekspedisi ke wilayah Ish, tepi Laut Merah yang dikomandani Hamzah. Pasukan ini nyaris bentrok dengan pasukan Abu Jahal. Pasukan Ubaidah bin Harith yang dikirim ke Wadi Rabigh - Hijaz-berpapasan dengan tentara Abu Sofyan. Pasukan Saad bin Abi Waqash pun berpatroli ke Hijaz.
Muhammad bahkan memimpin sendiri milisi Muslim. Itu dilakukannya setelah setahun di Madinah. Mula-mula ia pergi ke Abwa dan Wadan. Kedua, ia memimpin 200 pasukan ke Buwat. Ketiga, Muhammad pergi ke 'Usyaira di mana ia tinggal selama bulan Jumadil Awal hingga awal Jumadil Akhir. Saat Rasul pergi, kepemimpinan di Madinah diserahkan pada Saad bin Ubada, dan kemudian Abu Salama bin Abdul As'ad. Hasil misi tersebut adalah kesepakatan persekutuan dengan Bani Dzamra dan Bani Mudlij. Hal ini memperkuat posisi Madinah dalam berperang dengan Mekah.
Namun bentrok tak terhidarkan. Pasukan Kurz bin Jabir dari Mekah menyerang pinggiran Madinah, merampas kambing dan unta. Muhammad -setelah menyerahkan kepemimpinan di Madinah-- memimpin sendiri pasukan mengejar Kurz. Banyak yang menyebut peristiwa ini sebagai Perang Badar pertama. Kemudian pasukan Muslim pimpinan Abdullah bin Jahsy bentrok dengan rombongan Qurais pimpinan Amr bin Hadzrami. Amr tewas terpanah oleh Waqid bin Abdullah Attamimi. Dua orang Qurais tertawan.
Setelah itu, Muhammad dan pasukan pergi ke Badar untuk memotong jalur perdagangan Mekah dan Syam. Abu Sofyan, pemimpin kafilah yang hendak pulang dari Syam, mengirim kurir minta bantuan penduduk Mekah. Abu Jahal segera memobilisasi bantuan itu.
Pada hari kedelapan bulan Ramadhan, tahun kedua hijriah, pasukan Muslim bergerak. Setiap tiga atau empat orang menggunakan satu unta, naik bergantian. Tanpa kecuali Muhammad yang bergantian dengan Ali serta Marthad bin Marthad. Rombongan berjumlah 305 orang. Mereka terdiri dari 83 muhajirin, 61 orang Aus, yang lain orang Khazraj. Pimpinan kota Madinah diserahkan pada Abu Lubaba, sedang imam masjid pada Amr bin Ummu Maktum.
Siasat segera dibangun. Mulai dari posisi pasukan hingga mengukur kekuatan lawan. Muhammad semula menetapkan posisi di suatu tempat. Sahabatnya, Hubab, bertanya apakah posisi itu merupakan petunjuk dari Allah? Setelah dijawab "bukan", Hubab menyarankan suatu strategi. Yakni memilih posisi di ujung depan, sehingga sumur-sumur berada di belakangnya. Dengan demikian, kaum Qurais berperang tanpa akses air. Sedangkan muslim punya banyak cadangan air.
Selain itu, Saad bin Mudhab juga membangun gubuk sebagai pos bagi Muhammad untuk memberikan komando. Ia keberatan bila Rasul berada di garis depan. Dengan demikian, jika pasukan Muslim kalah, Muhammad tak dapat ditawan lawan, melainkan dapat segera mengorganisasikan pasukan baru yang tinggal di Madinah. Rasul juga menaksir jumlah kekuatan lawan dari banyaknya unta yang dipotong. Dengan 9-10 unta dipotong setiap hari, berarti kekuatan lawan sekitar 1000 orang.
Beberapa kaum Qurais sempat berpikir untuk menghindari perang. Bagaimanapun antara mereka mempunyai hubungan kekerabatan. Namun Abu Jahal berkeras. Aswad bin Abdul Asad lalu menerjang maju, dan langsung tersungkur oleh pedang Hamzah. Kemudian dua bersaudara Uthba' dan Syaiba bin Rabia, serta Walid anak Uthba maju bersama yang segera disongsong Hamzah, Ali dan Ubaida bin Harith. Ketiga penyerang itu tewas.
Serentak pertempuran berlangsung di semua lini. Bilal bin Rabah menewaskan bekas tuannya, Umayya. Abu Jahal tewas di tangan Mu'adh. Perang berkecamuk persis pada tanggal 17 di tengah terik bulan Ramadhan. Qurais kalah besar. Beberapa orang ditawan. Rasul memerintahkan eksekusi langsung pada dua orang yang dikenal sangat sering menjelek-jelekkan Islam, Nadzr bin Harith dan Uqba anak Abi Muait.
Sempat terjadi perdebatan di kalangan muslim. Abu Bakar yang dikenal lemah lembut, meminta agar tawanan ditahan secara wajar sampai kaum Qurais -sesuai tradisi masa itu-menebusnya. Umar yang tegas minta agar semua tawanan dibunuh. Rasul memutuskan yang pertama.
Mereka yang berasal dari keluarga kaya, harus membayar mahal tebusan. Sedangkan yang miskin dapat dibebaskan tanpa membayar apapun. Zainab -putri Muhammad yang tinggal di Mekah-membebaskan suaminya, Zaid bin Haritsa dengan cincin peninggalan Khadijah. Zaid dibebaskan namun diminta menceraikan Zainab. Suatu saat Zaid kembali ditawan muslim di Madinah, ia lalu masuk Islam dan kembali menikah dengan Zainab.
Suasana di Mekah sangat muram. Abu Lahab, sepulang perang, kemudiam demam sampai ia meninggal. Namun Hindun bin Uthba -istri Abu Sufyan-justru menggalang kembali kekuatan. Ia bersumpah akan membalas dendam kematian ayah, paman serta saudara di perang itu. Ia buktikan sumpahnya dalam Perang Uhud.
Adapun di Madinah, di saat Rasul dan pasukannya pergi ke Badar, ketegangan mencuat antara Muslim dengan Yahudi. Seorang Yahudi, Ka'ab diketahui memprovokasi kalangannya agar mengganggu para perempuan muslim. Puncaknya adalah ketika Yahudi mengait baju perempuan Muslim hingga kainnya tersingkap. Mereka ramai-ramai menertawakan perempuan itu. Seorang muslim mencabut pedangnya dan membunuh laki-laki Yahudi itu. Ia kemudian juga dibunuh. Ka'ab kemudian dibunuh oleh orang-orang Islam. Demikian juga dua orang Yahudi yang selalu mengata-ngatai Islam, Abu Afak dan Ashma.
Setelah Rasul kembali ke Madinah, Yahudi Bani Qainuqa pembuat onar dan melanggar kesepakatan damai itu mereka kucilkan. Kabilah tersebut kemudian pindah ke Adhriat -ke arah Yerusalem. Untuk sementara, kehidupan Madinah kembali tenang.
Tragedi Uhud (5 Hijriah)
Muhammad terus bekerja keras untuk menata masyarakat. Kehidupan umat Islam di Madinah semakin baik. Setelah menang di Perang Badar, mereka makin disegani kabilah-kabilah Arab. Perdagangan maupun pertanian berjalan lancar. Rongrongan Yahudi, untuk sementara, telah diatasi. Hal itu memudahkan Rasul untuk menyeru masyarakat untuk berperilaku lebih baik. Seruan yang bergema sampai sekarang, bahkan masa mendatang.
Suasana damai tersebut bukan tanpa ancaman. Di Mekah, kaum Qurais menggalang kekuatan besar. Bagi mereka, kuatnya muslim adalah duri yang harus disingkirkan. Apalagi, Madinah berada di tengah jalur perdagangan Mekah-Syam. Maka, Abu Sofyan menggalang kekuatan 3000 orang, termasuk 100 orang asal Thaqif. Sekitar 700 orang diantarany mengenakan baju besi, dan 200 orang pasukan berkuda. Sebanyak 3000 unta mendukung serangan itu.
Muhammad dan masyarakat Muslim tak tahu rencana itu. Sampai kemudian Muhammad menerima surat dari pamannya yang masih kafir, Abbas bin Abdul Muthalib, yang membocorkan rencana tersebut. Orang dari Ghifar yang menjadi kurir Abbas menemui Muhammad di Masjid Quba. Ubay bin Ka'b diminta Muhammad membaca surat itu. Mereka kemudian kembali Madinah, membahas ancaman Qurais. Anas dan Mu'nis anak Fudzala yang diminta menyelidiki keadaan, melaporkan bahwa musuh telah berada di sekitar Uhud, pinggiran kota Madinah.
Perdebatan berlangsung. Muhammad cenderung untuk bertahan di Madinah. Demikian pula para orang-orang tua asli Madinah, apalagi orang-orang Yahudi. Namun para anak muda --terutama yang belum ikut Perang Badar-mendesak agar mereka menyongsong musuh. Suara terbanyak menghendaki itu. Rasul pun mengalah pada keinginan demokratis tersebut.
Hari itu hari Jumat. Muhammad mengimami salat Jumat, kemudian kembali ke kamarnya. Abu Bakar dan Umar menyusul masuk, membantu Muhammad mengenakan sorban dan baju besinya. Rasulullah saat itu berusia sekitar 58 tahun. Ia memimpin sendiri pasukannya yang berkekuatan 700-an orang. Mereka segera menuju bukit Uhud. Sebanyak 50 orang ditugasi Muhammad untuk menjadi pemanah. Mereka harus menempati posisi di lereng bukit, tanpa boleh pergi, kecuali diperintahkan Muhammad.
Kaum Yahudi juga telah menyiapkan pasukan. Muhammad melarang pasukannya, "minta pertolongan orang musrik untuk melawan orang musrik." Benar, pasukan Yahudi -yang semestinya juga harus ikut mempertahankan Madinah-membubarkan diri.
Malam itu, mereka bersiaga di lereng-lereng Uhud. Rasul pun menyerahkan pedangnya pada Abu Dujana. Pagi hari tanggal 15 Syawal, tahun kelima Hijriah, darah mulai tumpah setelah Ali berduel dengan komandan pasukan Qurais, Talha anak Abu Talha. Talha tewas seketika. Selanjutnya, Ali, Hamzah dan Abu Dudjana terus berkelebat tak tertahankan. Pedang Rasul menghantam orang-orang Qurais. Bahkan sudah di atas kepala Hindun, namun Abu Dudjana mengurungkan. Ia mengaku tak tega membunuh perempuan, meskipun perempuan itulah yang telah mengobarkan perang.
Hindun memimpin barisan perempuan yang membawa tambur dan bersorak-sorai menyemangati kaum Qurais. Mereka meneriakkan syair-syarir. Antara lain, yang dikutip Haekal, "Kamu maju, kami peluk dan kami hamparkan kasur yang empuk; atau kamu mundur kita berpisah. Berpisah tanpa cinta."
Keputusan Abu Dudjana keliru. Hindun ternyata mengorganisasikan para budak, termasuk Wahsyi -budaknya asal Ethiopia. Bila berhasil membunuh Hamzah yang telah menewaskan ayah Hindun di Perang Badar, mereka akan dimerdekakan dari perbudakan. Wahsyi berhasil menghunjamkan tombaknya menembus perut bagian bawah. Tombak terus menancap sampai paman Nabi itu wafat. Konon, Hindun kemudian membelah dada Hamzah dan memakan jantung korban.
Bayang-bayang Perang Badar seperti kembali terlihat, pagi itu. Kaum Qurais mulai kalang-kabut meninggalkan arena. Orang-orang Islam mengejar-kejar mereka. Namun kemudian mereka tergoda oleh harta jarahan. Mereka segera berebut harta yang ditinggalkan orang-orang Qurais. Para pemanah di puncak-puncak bukit pun berlarian mengejar barang jarahan. Abdullah bin Juzair mengingatkan mereka untuk tidak meninggalkan pos, namun mereka tak peduli.
Di saat demikian, pasukan berkuda Qurais pimpinan Khalid bin Walid memutar bukit melakukan serangan balik. Pasukan muslim yang tak lagi bersiaga kocar-kacir. Korban berjatuhan. Muhammad terdesak hingga mundur ke puncak bukit. Ia sempat terperosok ke dalam lubang jebakan, namun diselamatkan Ali serta Talha anak Ubaidillah. Tokoh Qurais, Uthba bin Abi Waqas, melemparkan batu ke muka Muhammad. Dua keping lingkaran topi baja terputus dan menyobek pipi serta bibir Muhammad. Wajah Sang Rasul pun berdarah-darah.
Panah terus menghujani Muhammad. Namun Abu Dudjana menggunakan punggungnya sebagai perisai untuk melindungi Rasul itu. Saad bin Abi Waqas membalas serangan panah tersebut. Muhammad ikut menyiapkan anak panah bagi Saad. Tak lama setelah itu, kabar kematian Muhammad pun menyebar. Kaum Qurais bersorak-sorai. Dalam keadaan letih mereka pun meninggalkan Uhud untuk kembali ke Mekah. Abu Bakar dan Umar -yang tak mengetahui keberadaan Muhammad-tertunduk lesu. Anas bin Nadzr, yang juga menyangka Rasul meninggal, kemudian mengamuk. Ia menyerang Qurais habis-habisan sampai tubuhnya hancur nyaris tanpa dapat dikenali lagi.
Namun, masih ada satu dua Qurais yang memburu Muhammad. Ubay bin Khalaf berhasil menemukan tempat istirahat Muhammad. Ubay belum sempat mengayunkan pedang tatkala Muhammad berhasil menyambar tombak Harith anak Shimma, dan menghunjamkannya. Ali kemudian membasuh muka Muhammad yang berdarah-darah. Abu Ubaida mencabut pecahan besi yang menembus wajah Muhammad, sehingga dua gigi Rasul itu tanggal.
Mereka semua kemudian salat dzuhur berjamaah sambil duduk. Rasulullah menjadi imamnya. Senja hari, mereka tertatih-tatih menuruni bukit, menghampiri satu demi satu kaum Muslimin yang menjadi korban, lalu memakamkan mereka. 70 orang telah syahid.
Muhammad dan pasukannya kembali ke kota Medinah dengan suasana pilu. Kaum Yahudi menyaksikan mereka dari balik jendela rumah masing-masing. Senyum mengembang di bibir para Yahudi itu. Namun, mereka keliru bila menyangka semangat Muslimin telah runtuh. Esok paginya, Rasul mengerahkan pasukan mengejar pasukan Qurais. Mereka menunggu tiga hari dan menyalakan api unggun sekiranya kaum Qurais berani bertempur. Abu Sofyan, yang telah letih berperang, memerintahkan pasukannya untuk terus pulang ke Mekah.
Provokasi Yahudi
Rona muka Muhammad memerah. Ia tak menyangka bahwa pengikutnya begitu pengecut. Kaum Qurais telah mengirimkan tantangan untuk bertempur di Badar kembali. Nua'im bin Mas'ud -kurir Qurais-bahkan mengabarkan hal yang menakutkan. Katanya, pihak Mekah telah menyiapkan pasukan dengan kekuatan yang tak akan terbayangkan warga Madinah.
Muhammad mengajak warganya kembali mengangkat senjata. Namun mereka cuma terdiam. Melihat itu, Rasul pun bersumpah akan tetap pergi ke Badar, meskipun seorang diri. Baru setelah itu, satu per satu mereka membulatkan tekad: siap menghadapi Qurais. Muhammad menyerahkan kepemimpinan Madinah pada Abdullah -anak tokoh oportunis Abdullah bin Ubay. Ia memimpin pasukannya ke Badar.
Di pihak Qurais, Abu Sofyan juga telah meninggalkan Mekah. Dua ribu pasukan ikut bersamanya. Namun, setelah dua hari perjalanan, Abu Sofyan membatalkan niatnya. Ia membawa pasukannya pulang ke Mekah. Pasukan Muhammad menunggu selama delapan hari sebelum kembali ke Madinah.
Perang telah terhindarkan. Namun, sebelum peristiwa itu, berbagai hal besar telah terjadi di kalangan muslim. Kehancuran dalam Tragedi Uhud telah meruntuhkan wibawa masyarakat Islam di Madinah. Musuh, yang semula sempat takut, kini bangkit mengincar kaum Muslim. Dua kakak beradik anak Khuailid, Tulaiha dan Salama, mulai memobilisasi Bani Asad untuk menggempur Muhammad.
Sebanyak 150 pasukan gerak cepat pimpinan Abu Salama bin Abdul Asad bergerak secara rahasia menggempur musuh di sarangnya. Kekuatan Bani Asad hancur total. Setelah itu, Khalid bin Sufyan di Nakhla hendak berbuat serupa. Dia mulai mengorganisasikan pasukan. Upaya Khalid terhenti setelah dia dibunuh Abdullah bin Unais di rumahnya sendiri.
Berbagai siasat lalu dirancang untuk melawan Muhammad. Misalnya yang dilakukan masyarakat Hudhail. Mereka minta Muhammad agar mengirim utusan untuk mengajarkan Islam. Muhammad menugasi enam orang. Empat orang utusan Rasul itu dibantai di tengah jalan. Dua orang lainnya, Zaid dan Khubaib dijual pada orang Qurais untuk balas dendam.
Zaid sempat ditawari untuk dibebaskan asalkan bersedia membunuh Muhammad. Ia menggeleng, lalu kepalanya dipenggal sebagai balasan atas kematian Umaya bin Khalaf di Perang Badar. Khubaib sempat minta waktu untuk salat dua rakaat sebelum disalib.
Muhammad sangat berduka. Apalagi kemudian 38 dari 40 orang pilihannya untuk berdakwah ke Najd dibantai di Bi'ir Sauna, pada 625 Masehi. Mereka ditugasi atas undangan untuk berdakwah, dan di bawah perlindungan seorang terkemuka, Abu Bara'. Kini mereka tewas. Yang selamat, Amr bin Ummaya juga mengalami masalah karena ia keliru membunuh dua orang yang disangkanya adalah musuh.
Muhammad minta bantuan Yahudi Bani Nadzir yang terikat perjanjian dengan Islam untuk menyelesaikan salah bunuh itu. Namun beberapa orang Banu Nadzir malah berkomplot untuk membunuh Muhammad. Atas provokasi Abdullah bin Ubay serta Huyay, Yahudi itu melawan. Pertempuran sempat terjadi selama 12 hari. Sebagaimana Bani Qainuqa terdahulu, Bani Nadzir pun kemudian diusir dari Madinah.
Tantangan paling serius muncul dari Ghatafan, terutama dari Bani Muharib dan Tha'laba. Muhammad dengan 400 pasukannya menyerbu mendadak. Musuh yang belum siap, melarikan diri. Dua pekan ekspedisi tersebut dilakukan. Saat itulah Muhammad memberi contoh pelaksanaan salat Khauf atau salat dalam peperangan. Sebagian terus bersujud sebagaimana biasa, sebagian lain berjaga-jaga menghadap arah musuh. Demikian dilakukan secara bergantian.
Muhammad juga membawa pasukan ekspedisi ke wilayah Utara, yakni ke daerah oase Dumat Jandal di dekat perbatasan dengan Yordania dan Irak sekarang. Tak terjadi pertempuran apapun dalam ekspedisi ini.
Namun diam-diam musuh mulai mengorganisasikan diri. Kaum Yahudi, terutama yang tekah terusir dari Madinah, telah melobi hampir seluruh kabilah Arab untuk bersatu melawan Muhammad. Selain orang-orang Qurais Mekah, Bani Qais, Ailan, Fazara, Asyja, Sulaim, Sa'ad serta Asad telah mengumpulkan kekuatan untuk bersama-sama menggempur Madinah.
Persitiwa Khandaq (6 Hijriah)
Salman berasal dari Parsi atau Iran sekarang. Ia tidak puas dengan agama Majusi (menyembah bintang) yang dianut masyarakatnya. Ia lalu berkelana. Salman sempat mengikuti pendeta Nasrani di daerah Palestina sebelum kemudian tertipu dan dijual sebagai seorang budak. Namun kemudian ia menjadi seorang Muslim merdeka di Madinah.
Kabar rencana Qurais menyerbu Madinah telah berhembus kencang. Salman mendengar pula kabar itu. Ia tahu, saudara-saudaranya sesama Muslim di Madinah merasa gentar dengan kabar tersebut. Bayang-bayang kekalahan di Perang Uhud belum lagi sirna. Apalagi kini Qurais tidak sendirian. Mereka dibantu oleh puak-puak Arab dari Ghatafan, serta jaringan intelijen Yahudi. Pasukan musuh diperkirakan mencapai jumlah 10 ribu orang.
Di saat Muslim berkecil hati itu, Salman melontarkan gagasan untuk menggali parit di dataran pintu masuk Madinah. Itu strategi perang yang sama sekali belum dikenal masyarakat Arab. Rasul menyetujui gagasan itu. Maka, siang malam seluruh warga Madinah -termasuk Rasulullah maupun warga Yahudi-bekerja keras menggali parit tersebut.
Selama enam hari, parit tersebut diselesaikan. Rumah-rumah di sisi parit dikosongkan. Para perempuan dan anak-anak diungsikan ke belakang. Batu-batu ditumpuk untuk senjata melawan musuh yang nekat melompati parit itu. Dengan demikian posisi Muslim di Madinah cukup aman. Di sebelah kanan terlindung gunung batu yang terjal, di depan terdapat parit besar yang akan membuat terperosok pasukan berkuda apalagi unta, di kiri terdapat bukit Sal. Di bukit inilah Muhammad bermarkas yang ditandai dengan keberadaan tenda merah miliknya.
Musuh sebenarnya bisa masuk dari dataran di belakang. Tapi itu tak mungkin dilakukan. Di sana adalah pemukiman Yahudi Quraiza yang terikat perjanjian dengan Muhammad. Masyarakat Yahudi ini bertugas untuk mengatur kebutuhan makan bagi pasukan Muslim di garis depan.
Segera pasukan musuh yang dikomandani Abu Sofyan tiba di Uhud. Mereka terkejut karena tak melihat satupun pasukan Muslim. Lebih terkejut lagi saat mereka melihat parit perlindungan di pintu masuk Madinah. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain mengepung Madinah, dan membuat warga kota itu kelaparan. Namun yang demikian juga sulit dilakukan karena persediaan makanan di Madinah cukup untuk waktu yang relatif lama. Apalagi saat itu musim dingin.
Sudah berhari-hari mereka mengepung. Tak ada perkembangan berarti. Ka'ab bin Akhtab --Yahudi penyusun rencana perang itu-lalu membujuk dua pihak. Yakni agar Qurais dan Ghatafan untuk tidak pulang. Ia minta waktu 10 hari lagi buat meyakinkan Yahudi Quraiza agar mengkhianati perjanjiannya dengan Muslimin. Warga Quraiza sempat ragu. Namun mereka pun memanfaatkan kesempatan. Yakni menuntut Muhammad agar memanggil kembali Yahudi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir yang telah diusir dari Madinah. Yahudi Quraiza bahkan menghentikan pasokan makanan pada kaum muslimin.
Orang-orang Islam mulai menderita dengan sangat. Kelaparan di garis depan perang pada saat musim dingin membuat pasukan muslim berjatuhan sakit. Beberapa orang bahkan meninggal karena itu. Dua sahabat Rasul, Hasan bin Tsabit dan Shafia binti Abdul Muthalib telah memergoki Yahudi yang memata-matai posisi pasukan Muslim untuk dibocorkan pada musuh. Beberapa orang tentara lawan juga telah menerobos parit, di antaranya Amir anak Abdul Wudud, Ikrima anak Abu Jahal serta Dzirar bin Khattab. Untunglah Ali berhasil mematahkan perlawanan mereka.
Muhammad menugasi dua pemimpin Muslim asli Madinah (Anshar) untuk menemui para pemimpin Quraiza agar menghentikan pengkhiatannya tersebut. Mereka adalah Sa'ad bin Mu'adz dari Bani Aus serta Sa'ad bin Ubadha dari Khazraj. Namun Yahudi Quraiza menampik keinginan itu. Mereka akan terus memboikot sampai tuntutannya dipenuhi.
Keadaan umat Islam semakin parah. Muhammad lalu berdiri di bukit Sal dan berdoa praktis tanpa henti. Bahkan di saat udara sangat dingin menjelang dinihari menusuk-nusuk tulangnya. Menurut riwayat, pada hari ketiga -di saat kondisi Rasul itu sudah sangat menurun-tiba-tiba muncul badai dingin yang luar biasa. Masyarakat Muslim dapat berlindung di pemukimannya sendiri. Kaum Qurais dan kelompok-kelompok dari Ghatafan -yang dalam Quran disebut "Al-Ahzab"-yang berada di tempat terbuka menjadi sasaran badai itu. Pasukan itu hancur sama sekali.
Masing-masing orang bersusah payah menyelamatkan diri. Usai peristiwa Khandaq, Muhammad menugaskan pasukan Muslim untuk mengepung Yahudi Quraiza atas pengkhiatannya. Setelah beberapa hari, Quraiza menyerah. Mereka minta agar hukuman yang dijatuhkan adalah pengusiran dari Madinah, sama dengan hukuman bagi Bani Qainuqa dan Bani Nadzir terdahulu.
Rasul mengatakan bahwa hukuman akan dijatuhkan oleh seorang hakim. Ia berjanji tidak akan intervensi atau campur tangan. Orang-orang Quraiza berhak memilih sendiri hakim tersebut. Saat itu pula, mereka memilih Sa'ad bin Mu'adz. Pemimpin suku Aus yang sempat ditugasi Muhammad untuk bernegosiasi dengan Quraiza itu sehari-hari memang cukup dekat dengan kalangan Yahudi. Namun, tanpa diduga oleh semua, Sa'ad justru menjatuhkan hukuman mati bagi semua laki-laki kelompok pengkhianat tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Para perempuan dan anak-anak dari keluarga Yahudi Quraiza itu lalu menjadi tanggungan umat Islam.
Sejak saat itu, Madinah aman tenteram. Rasulullah lalu berkonsentrasi untuk membangun peradaban masyarakat. Sebuah peradaban yang menjadi model dasar bagi konsep "civil society" (masyarakat Madani) kini
Perjanjian Hudaibiya
Sudah enam tahun Muhammad hijrah. Masa-masa yang sangat sulit telah terlampaui. Kini tibalah bulan suci. Pada masa-masa seperti itu, masyarakat Arab dari berbagai pelosok, umumnya berdatangan untuk berziarah ke ka'bah. Sudah menjadi kesepakatan, kaum Qurais di Mekah harus menerima siapapun yang akan berkunjung. Seluruh perselisihan pada bulan haji itu harus dihentikan. Menumpahkan darah, dengan alasan apapun, diharamkan.
Perasaan rindu pada ka'bah mulai mengusik hati Muhammad dan orang-orang Islam. Ke sanalah setiap hari mereka menghadapkan wajah untuk bersujud pada Allah Sang Pencipta. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan kerinduan itu. Maka, Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk pergi ke Mekah berziarah ke ka'bah.
Sekitar seribu empat ratus orang menemani Sang Rasul menempuh perjalanan itu. Mereka tidak membawa baju zirah atau perlengkapan perang apapun. Mereka mengenakan baju ihram putih, dan hanya membawa pedang bersarung -perlengkapan dasar orang Arab waktu itu setiap bepergian. Rasul juga membawa 70 unta korban. Peristiwa tersebut diperkirakan terjadi pada Maret, 628 Masehi.
Perjalanan berlangsung lancar hingga mendekati Mekah. Di Hudaibiya, unta Muhammad yang diberinya nama Al-Qashwa, pun berhenti dan berlutut. Muhammad memutuskan rombongan untuk beristirahat di situ. Pihak Qurais yang telah mendengar kabar perjalanan tersebut menjadi bingung bukan kepalang. Menyerang rombongan Muhammad berarti melanggar kesepakatan adat. Hal demikian akan membuat Qurais dimusuhi oleh semua golongan Arab. Apalagi mereka tahu, Muhammad datang untuk menunaikan ibadah dan bukan berperang. Namun mereka juga khawatir bila Muhammad tiba-tiba menyerang Mekah.
Qurais pun menyiapkan pasukan tempur di bawah pimpinan Khalid bin Walid yang saat itu masih kafir. Khalid adalah petempur muda yang sangat disegani kawan maupun lawan. Karena kecerdikannya, umat Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Selain itu, mereka juga mengirim utusan menemui Muhammad untuk mengetahui maksud sebenarnya rombongan tersebut. Sebaliknya, Muhammad juga mengirim Usman bin Affan untuk menemui Abu Sofyan di Mekah. Usman menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah ke ka'bah, lalu kembali ke Madinah.
Suasana sempat tegang ketika Usman tak kunjung kembali. Kaum muslimin sampai perlu membuat ikrar Rizwan -siap mati bersama untuk menyelamatkan Usman. Syukurlah, itu tak terjadi. Abu Sofyan lalu mengutus Suhail bin Amir untuk berunding dengan Muhammad.
Perundingan dilakukan. Suhail tampak keras untuk memaksakan pendapatnya mengenai isi kesepakatan. Bahkan ia mengedit kalimat demi kalimat yang disusun pihak Muslim. Misalnya terhadap penulisan "Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah yang Pengasih dan Penyayang) di awal perjanjian. Suhail memaksakannya mengubah menjadi "Bismikallahumma" (Dengan nama-Mu ya Allah). Ia juga menolak pemakaian istilah "Muhammad Rasululllah" dan menggantinya dengan "Muhammad bin Abdullah."
Demikian pula tentang isi perjanjian. Di antaranya adalah bahwa saat itu umat Islam harus kembali ke Madinah. Mereka diizinkan untuk berziarah pada tahun depan. Selain itu, jika akan orang-orang Mekah lari ke Madinah (untuk masuk Islam), pihak Muhammad harus menolaknya sehinga yang bersangkutan kembali ke Mekah. Sebaliknya, bila ada orang Madinah yang lari untuk bergabung dengan Qurais di Mekah, orang-orang Qurais tidak berkewajiban mengembalikannya. Perjanjian tersebut mengikat seluruh warga Mekah dan Madinah. Juga mengikat Bani Bakar yang berpihak pada kubu Mekah, serta Bani Khuza'a yang berpihak pada kubu Madinah.
Muhammad tampak mengalah dalam perjanjian itu. Hal demikian membuat gusar kaum muslimin lainnya. Umar yang paling tidak sabar. Ia menemui Abu Bakar. "Abu Bakar, bukankah dia Rasulullah. Bukankah kita ini Muslimin? Mengapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?". Umar bahkan menyampaikan itu langsung pada Muhammad. Muhammad dengan sabar mendengarkan Umar. Namun ia kemudian menutup pembicaraan dengan kalimat: "Saya hamba Allah dan Rasul-Nya. Saya tak akan melanggar perintah-Nya, dan Dia tidak akan menyesatkan saya." Rombongan kemudian kembali Madinah. Muhammad memang mengalah dalam perjanjian Hudaibiya itu. Tapi sebenarnya, ia baru memperoleh kemenangan besar. Untuk pertama kalinya kaum Qurais mengakui keberadaan Islam secara resmi, dan mereka juga tak dapat lagi menolak umat Islam untuk berkunjung ke ka'bah tahun depannya. Muhammad telah mengalihkan bentuk perjuangannya dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik
Perang Khaibar
Hanya beberapa hari Muhammad berada di Madinah usai peristiwa Hudaibiya itu. Sekitar dua pekan kemudian, Rasul bahkan memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah.
Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan musuh-musuh Muhammad dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Hal itu terbukti pada Perang Khandaq. Bagi warga Muslim di Madinah, Yahudi lebih berbahaya dibanding musuh-musuh lainnya.
Maka Muhammad menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu pekerjaan yang tak mudah dilakukan. Pasukan Romawi yang lebih kuat pun tak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengorganisasikan prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na'im. Pasukan perang dikonsentrasikan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan.
Sallam tewas dalam pertempuran itu. Tapi pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Muhammad menugasi Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya kepemimpinan komando diserahkan pada Ali.
Di Khaibar inilah nama Ali menjulang. Keberhasilannya merenggut pintu benteng untuk menjadi perisai selalu dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menjebol pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab -komandan Yahudi setelah Sallam-pun tewas. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam.
Setelah itu benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam.
Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Muhammad memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi' yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.
Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan oleh Rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Nasrani terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Nasrani dari kekaisaran Romawi akan menghancurludeskan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Muhammad dalam politik.
Muhammad sempat tinggal beberapa lama di Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab binti Harith menaruh dendam pada Muhammad. Sallam, suaminya, tewas dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Muhammad. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, namun segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat Rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.
Khaibar telah ditaklukkan. Rombongan pasukan Rasulullah kembali ke Madinah melalui Wadil Qura, wilayah yang dikuasi kelompok Yahudi lainnya. Pasukan Yahudi setempat mencegat rombongan tersebut. Sebagaimana di Khaibar, mereka kemudian ditaklukkan pula. Sedangkan Yahudi Taima' malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui peperangan.
Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin terwujud. Dengan demikian, Muhammad dapat lebih berkonsentrasi dalam dakwah membangun moralitas masyarakat.
Surat Buat Para Raja
Semakin hari, keutamaan Islam semakin terlihat dengan nyata. Ajaran untuk menyembah Allah Sang Pencipta secara total -tidak dengan menduakannya pada yang lain-bukan sekadar mengharuskan manusia untuk bersujud sebagai ibadah ritual kepadanya. Lebih dari itu juga mendorong setiap pribadi untuk berperilaku baik. Islam juga merumuskan tatanan sosial yang sangat komplet dan menyeluruh.
Praktek orang-orang Arab "jahiliyah" telah ditinggalkan sama sekali pemeluk Islam. Berbohong, menipu, mencuri, merampok, membunuh (kecuali dalam perang), berjudi, "mengundi nasib", berzina, dan banyak praktek lain telah sepenuhnya dijauhi. Minum 'khamr' atau alkohol kemudian juga diharamkan. Selain dengan menumbuhkan kesadaran masing-masing, Islam mengancam hukuman neraka bagi setiap pelaku dosa. Kecuali bila pelaku dosa itu bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Umat Islam diwajibkan untuk berkata benar, jujur, rendah hati serta santun pada sesama. Perilaku sabar, bersahaja, serta tekun selalu diharapkan dari setiap muslim. Bermegah-megahan diri, baik dalam bentuk kekayaan maupun kebanggaan keluarga, dilarang. Interaksi sosial, masalah lingkungan, pendidikan, ekonomi hingga politik dirumuskan secara rinci. Semua merupakan jalan untuk mewujudkan keadilan sosial, kecukupan serta pemerataan ekonomi, hingga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Muhammad Rasulullah merasa bahwa pondasi tatanan keislaman tersebut telah cukup tertanam di masyarakat Madinah. Kini saatnya untuk menyebarkan ajaran tersebut keluar. Untuk itu, Muhammad berniat mengirim surat bagi para penguasa berisi ajakan memeluk Islam. Tak teriwayatkan siapa penulis surat itu. Besar kemungkinan diantara mereka adalah sekretaris Rasul, Zaid bin Tsabit. Zaid, yang juga salah satu pencatat wahyu Allah, diangkat menjadi sekretaris Rasul setelah ia diminta belajar bahasa Ibrani dan Syria. Ia menggantikan sekretaris terdahulu, seorang Yahudi yang bersama kabilahnya telah diusir keluar dari Madinah.
Surat pun disiapkan untuk dua raja besar yang tengah bermusuhan, yakni Kaisar Romawi Heraklius serta Raja Persia Kisra. Selain itu, Muhammad juga mengirim surat pada Raja Negus di Abisina atau Ethiophia sekarang; pada Gubernur Muqauqis di Mesir dan Gubernur Harith Al-Ghassani yang menguasai wilayah Palestina dan Syria; juga pada Gubernur Harith Al-Himyari di Yaman. Mesir, Palestina dan Syria saat itu tunduk di bawah kekuasaan Romawi, sedangkan Yaman di bawah kendali kerajaan Persia. Surat juga ditujukan untuk penguasa Yamama, Oman serta Bahrain.
Surat-surat itu dibuka dengan tulisan "Bismillahir-Rahmanir-Rahim" (Dengan nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang", lalu dilanjutkan dengan kalimat "Dari Muhammad hamba Allah kepada ....." Surat kemudian ditutup dengan stempel dari cincin perak bertuliskan : "Muhammad Rasulullah."
Duta-duta pengirim surat pun ditunjuk. Dihya bin Khalifa mendapat tugas untuk ke Romawi, Abdullah bin Hudhafa ke Persia, Amr bin Ummaya untuk Abisina, Hatib bin Abi Balta'a untuk Mesir, Amr bin Ash untuk Oman, Salit bin Amr untuk Yamama, Ala bin Hadrami untuk Bahrain, Syuja' bin Wahab untuk Ghassan, serta Muhajir bin Ummaya untuk Yaman. Serentak mereka pun berangkat ke tujuan masing-masing.
Heraklius kabarnya menyambut baik utusan Muhammad tersebut. Ia bahkan membalas surat tersebut dengan kata-kata yang baik. Gubernur Ghassan sempat minta izin Heraklius untuk menghukum Muhammad yang dinilainya lancang. Namun Heraklius melarang. Melihat sikap baik tersebut, sebagian kalangan malah menyangka Heraklius telah menerima ajakan Muhammad untuk masuk Islam.
Sikap sebaliknya ditunjukkan oleh Kisra yang baru kalah perang melawan Romawi. Ia dikabarkan merobek-robek surat Muhammad. Ia bahkan mengirim surat pada Gubernur Yaman agar membunuh Muhammad dan mengirimkan kepalanya ke Persia. Namun Gubernur Yaman justru memenuhi seruan Muhammad untuk masuk Islam, dan membebaskan diri dari kekuasaan Persia.
Raja Negus di Abisina juga menyambut surat Muhammad. Banyak yang menyebut Negus telah menerima ajaran Islam. Penulis sejarah Muhammad Haekal meragukan itu. Sejak lama, raja ini melindungi orang-orang Islam dari kejaran Qurais. Kini ia memenuhi permintaan Muhammad agar membantu orang-orang muslim di Abisina untuk kembali ke jazirah Arab, dan menetap di Madinah. Negus menyiapkan dua buah kapal untuk mengangkut rombongan yang dipimpin Ja'far bin Abu Thalib menyeberangi Laut Merah.
Sikap sangat baik juga ditunjukkan oleh Muqauqis. Ia mengaku sangat percaya bahwa akan ada Rasul setelah Isa. Namun ia menduga bahwa rasul itu akan muncul di Syam. Muqauqis kemudian mengirim berbagai barang dari Mesir sebagai hadiah. Juga seekor bagal serta seekor keledai dengan corak warna yang sangat unik. Ikut serta dalam rombongan dari Mesir ini adalah dua orang putri, yakni Maria dan Sirin. Maria kemudian dinikahi Rasulullah dan memberinya putra yang diberi nama Ibrahim. Sebagaimana dua anak laki-laki Muhammad lainnya, Ibrahim juga meninggal sewaktu kecil.
Surat-surat Rasulullah tersebut semakin memperkuat posisi politik umat Islam yang berpusat di Madinah. Lebih penting lagi, Islam semakin luas berkumandang. Bukan semata di jazirah Arab, namun juga mulai terdengar di benua Afrika, Eropa serta Asia.
Umrah Pertama
Sungguh itu bukan pemandangan lazim. Hari itu, kaum Qurais berbondong-bondong meninggalkan Mekah. Tua, muda dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan, tanpa kecuali. Orang-orang itu mendaki bukit-bukit di sekitar Mekah. Perhatian mereka tertuju pada kepulan debu yang membubung dari arah utara.
Ya, dari utara -dari arah Madinah-sekitar 2000 orang tengah mendekati Mekah. Mereka adalah rombongan Rasulullah. Setahun sebelumnya, dalam jumlah yang lebih kecil, mereka telah mencoba memasuki Mekah untuk ziarah. Perjalanan itu tertahan di Hudaibiya -tempat kedua pihak meneken perjanjian. Dalam perjanjian itu, Muhammad dan rombongan baru boleh datang ke Mekah setahun kemudian. Jika saat itu tiba, kaum Qurais akan menyingkir sementara dari Mekah.
Setahun telah berlalu. Pada bulan suci ini, Muhammad benar-benar datang bersama umat Islam lainnya. Mereka semua larut dalam seruan "labbaika, labbaika" yang tak putus-putusnya membahana. Sudah sekitar tujuh tahun meninggalkan kota tempat ka'bah itu berada. Kini "rumah Allah" tersebut telah berada di hadapannya.
Muhammad menyelempangkan jubah ke pundak kirinya. Dibiarkannya pundak dan lengan kanannya terbuka. Saat itu pula, ia berdoa "Allahumarham, amra-a arahumulyauma min nafsihi quwwata." (Ya Allah, berikan rahmat kepada orang yang hari ini telah memperlihatkan kemampuan dirinya").
Ia lalu melangkah menyentuh hajar aswad di sudut ka'bah, lalu berlari kecil hingga Rukun Yamani atau sudut selatan yang merupakan sudut ketiga, dan kemudian berjalan kembali untuk menyentuh hajar aswad. Hal demikian dilakukannya tiga kali. Selebihnya Muhammad mengelilingi ka'bah dengan arah yang berlawanan dengan putaran jarum jam itu dengan berjalan kaki. Ribuan umat Islam mengikuti setiap gerakan Muhammad. Sebuah pemandangan yang mempesona orang-orang Qurais yang menyaksikan dari lereng-lereng bukit.
Abdullah bin Rawaha tidak dapat menahan diri untuk larut dalam suasana tersebut. Ia nyaris meneriakkan tantangan perang pada Qurais. Namun Umar bin Khattab mencegahnya. Sebagai pelampiasannya, Umar menyarankan Abdullah untuk meneriakkan kata yang sekarang cukup dikenal oleh masyarakat Islam: "La ilaha illallah wahdah, wanashara abdah, wa'a'azza jundah, wakhadalal ahzaba wahdah". ("Tiada Tuhan selain Allah Yang Esa, yang menolong hamba-Nya, memperkuat tentara-Nya dan menghancurkan sendiri musuh yang bersekutu.")
Abdullah terus mengulang-ulang kalimat tersebut yang diikuti hampir seluruh umat Islam. Kata-kata itu terus bergema, menghunjam hati-hati orang Qurais yang hanya dapat menyaksikan dari jauh.
Usai mengelilingi ka'bah, Muhammad yang mengendarai kendaraannya, menuju bukit Shafa. Dari sana Rasul bergerak ke bukit Marwa, dan kembali ke bukit Shafa lagi hingga tujuh kali perjalanan. Perjalanan yang sekarang disebut sa'i ini diyakini sebagai upaya menapaktilasi perjuangan keluarga Nabi Ibrahim, khususnya Siti Hadjar, saat membangun baitullah, berabad-abad sebelumnya. Usai perjalanan tersebut, sesuai tradisi orang-orang Arab masa itu, Muhammad pun bercukur rambut, kemudian memotong kurban.
Esok harinya, Muhammad memasuki ka'bah dan terus berada di sana sampai tiba salat dzuhur. Sebagaimana di Madinah, Bilal bin Rabah, kemudian naik ke atap bangunan untuk mengumandangkan azan. Rasul pun menjadi imam salat berjamaah di sana, di antara patung-patung yang masih banyak terdapat di sekitar ka'bah.
Muhammad tinggal di Mekah selama tiga hari. Setelah itu, ia dan rombongan kembali ke Madinah. Ada dua keuntungan yang diperolehnya dalam perjalanan kali ini. Ia dan rombongan bukan saja dapat menunaikan ibadah umrah -yang sering disebut pula sebagai Umrah Pengganti (Umratul Qadha), ia juga berhasil merebut hati tokoh-tokoh penting Qurais.
Saat Muhammad di perjalanan menuju Madinah itu, Khalid bin Walid mengejarnya dan menyatakan diri masuk Islam. Khalid adalah seorang muda yang menjadi komandan paling cerdik pasukan Qurais. Kelak ia banyak berperan dalam sejumlah ekspedisi militer kalangan Islam. Setelah Khalid, Amr bin Ash serta Ustman anak Talha yang menjadi penjaga ka'bah, menyusul masuk Islam. Setelah Rasul wafat, Amr banyak menimbulkan persoalan terutama menyangkut perselisihannya dengan Ali bin Abu Thalib.
Umrah ditunaikan. Kota Mekah tinggal sesaat lagi untuk sepenuhnya berada dalam kendali Rasulullah.
Melawan Romawi
"Jangan membunuh perempuan, bayi, tuna netra serta anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon." Kata-kata itu diucapkan oleh Rasul. Tiga ribu pasukan pilihannya telah beranjak meninggalkan Madinah. Muhammad mengantarkan mereka sampai keluar kota. Mereka hendak melaksanakan misi suci. Muhammad secara khusus berdoa buat mereka. "Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat." Para prajurit itu bergemuruh menuju utara, ke arah Syam.
Syam. Syria sekarang. Sudah lama Muhammad mengincar kawasan ini untuk dakwahnya. Wilayah ini berada di jalur utama perdagangan dunia saat itu, Cina-Eropa. Di Syam pula jalur itu bercabang menuju jazirah Arab dan Yaman, serta menuju Mesir dan seluruh wilayah di Afrika. Maka Rasulullah beberapa kali mengirim misi dakwah ke arah itu.
Salah satu misi tersebut adalah ke Dathut Thalha, perbatasan Syam. Muhammad mengirim 15 orang sahabatnya untuk mengajar Islam. Namun mereka dibunuh tanpa alasan yang jelas. Hanya satu orang selamat. Kejadian tersebut diyakini sebagai alasan Muhammad untuk mengirim pasukan perangnya. Namun ada juga yang menilai bahwa pengiriman pasukan itu terjadi setelah duta Rasulullah yang membawa surat ajakan masuk Islam pada Gubernur Bushra dibunuh oleh seorang badui Ghassan atas nama Heraklius -penguasa Romawi.
Maka Muhammad pun mengirim pasukannya. Ia mengangkat Zaid bin Haritsa, anak angkatnya, untuk memimpin pasukan itu. Sekiranya Zaid meninggal, Muhammad berpesan agar komando diserahkan pada Ja'far bin Abu Thalib. Seandainya maut juga merenggut Ja'far, kepemimpinan agar diserahkan Abdullah bin Rawaha -salah seorang ksatria yang sangat disegani.
Syuhrabil, Gubernur Romawi untu Syam, telah mendengar kabar gerakan pasukan Muhammad itu. Ia lalu memobilisasi tentara dari kabilah-kabilah setempat buat menghadang. Ia juga minta Heraklius untuk mengirim pasukan tambahan. Maka berkumpullah pasukan yang diperkirakan mencapai jumlah 100-200 ribu yang terdiri dari pasukan Romawi asal Yunani,serta orang Lakhm, Jundham, Bahra, Qain dan lainnya. Ada riwayat yang menyebut Heraklius memimpin sendiri pasukannya. Namun ada yng menyebut bahwa komandan pasukan itu bukan Heraklius melainkan Theodore, saudara raja.
Di Ma'an, kamu muslimin sempat berhenti selama dua malam. Mereka gamang melihat kekuatan lawan yang sangat besar. Namun Abdullah bin Rawaha mengobarkan semangat. Bukankah mereka semua pergi ke medan laga untuk mendapatkan hal yang mereka idamkan: mati syahid.
Pasukan muslim memgambil posisi di Mu'ta. Di sini mereka digempur habis-habisan tentara Romawi. Zaid bertempur habis-habisan sampai tombak lawan menembus dadanya. Komando lalu diserahkan pada Ja'far, yang mempertahankan bendera mati-matian. Kabarnya, ketika tangan kanannya dipenggal, Ja'far memegang bendera dengan tangan kirinya. Begitu tangan kirinya dipenggal, ia mencoba tetap menegakkan tangkai bendera: memeluk dengan kedua bahunya. Saat itulah kepala Ja'far dibelah.
Abdullah anak Rawaha mengambil alih komando. Namun ia pun gugur. Dalam keadaan carut-marut, pasukam Muslimin aklamasi menunjuk Khalid bin Walid. Khalid kemudian membuat strategi yang membingungkan lawan. Pasukannya mengggempur lawan secara sporadis sampai hari petang, kemudian mereka mundur. Namun, pada pagi buta, ia menyebar pasukan seluas mungkin, lalu secara serempak menyerang. Hal demikian membuat kekuatan Romawi menjadi kacau.
Dalam keadaan tak terkoordinasi, tentara Romawi berlarian mundur. Saat itu pula, pasukan Islam yang telah sangat banyak menderita, juga menarik diri ke Madinah. Sebagian kaum Muslim di Madinah meneriaki mereka sebagai pengecut karena lari dari medan perang. Namun Muhammad justru memuji kegagagahan mereka. Sambil bercucur air mata, Muhammad merangkul anak Zaid dan membelai rambutnya. Ia juga menemui anak dan istri Ja'far.
Sekilas misi tersebut gagal. Namun, secara moral, pasukan Islam telah menang. Sepak terjang Khalid telah mengundang simpati lawan. Farwa anak Amir dari suku Jundham yang menjadi salah seorang komandan pasukan Romawi sangat kagum pada Khalid. Sembilan pedang telah dihabiskan Khalid. Siasatnya yang cerdik mampu menyelamatkan pasukan Islam dari kehancuran total, dan bahkan membikin kalang kabut lawan.
Farwa kemudian masuk Islam. Heraklius marah besar. Kaisar itu menyatakan akan mengampuni Farwa, dan berjanji mengembalikannya ke jabatan semula bila bersedia memeluk Nasrani kembali. Farwa menolak. Ia lalu dihukum mati. Tindakan Romawi tersebut justru membuat orang-orang Arab di sekitar Syam berpaling pada Muhammad. Kebencian terhadap Romawi malah bekembang.
Maka, ketika kemudian mengirim kembali misi ke arah Syam, Muhammad mencatat sukses besar. Misi yang dikomandoi Amr Bin Ash berjalan mulus, praktis tanpa perlawanan apapun. Islam kini telah siap untuk menyebar ke tempat yang lebih jauh. Ke Afrika Utara dan Eropa di arah Barat, serta ke Asia di arah Timur.
Pembebasan Mekah
Tanpa terasa masyarakat Islam menguat dengan sangat cepat. Di utara, di antara Syria dan Irak sekarang, masyarakat berbondong-bondong mengikuti Islam. Hal demikian semakin memerosotkan wibawa pemerintahan Romawi yang berkuasa di wilayah itu. Di jazirah Arab, justru tinggal masyarakat Mekah dn sekitarnya yang masih memusuhi Islam.
Namun, perubahan keadaan berlangsung dengan sangat cepat. Tanpa diduga, pihak Qurais melanggar perjanjian damai mereka dengan kaum Muslim. Bani Bakar yang berada di pihak Qurais, tiba-tiba menyerang Bani Khuza'a yang menurut perjanjian Hudaibiya berada di pihak muslim. Beberapa orang Khuza'a tewas. Hal itu dilaporkan oleh pemuka masyarakat setempat, Budail anak Warqa pada Muhammad di Madinah.
Abu Sofyan berupaya mencegah keberangkatan Budail. Namun terlambat. Ia juga berusaha menemui Muhammad di Madinah. Tapi, tak satupun orang di Madinah bersedia membantu itu. Ummu Habibia, putri Abu Sofyan yang telah memeluk Islam, pun menolak mempertemukan ayahnya itu dengan Sang Rasul. Pulanglah Abu Sofyan.
Perjanjian Hudaibiya telah batal. Sekarang tak ada lagi larangan bagi Muhammad untuk mengerahkan pasukannya mengepung Mekah. Itulah yang dilakukannya. Pasukan muslim disiagakan untuk perjalanan tersebut. Di tengah jalan, berbagai kabilah bergabung dengan mereka. Termasuk kabilah-kabilah dari Ghatafan yang dulu bersama Qurais hendak menggempur Madinah di Perang Khandaq. Diperkirakan jumlah pasukan itu mencapai 10 ribu orang.
Kaum Qurais masih berdebat ketika rombongan Muhammad hampir mencapai Mekah. Tak ada informasi apapun atas gerakan pasukan itu. Seorang muslim Madinah, Hatib bin Abu Balta'a, sempat membocorkan rencana tersebut lantaran tidak tega membayangkan nasib yang akan ditanggung para saudaranya di Mekah. Namun Ali dan Zubair dapat mengejar Sarah, perempuan yang dititipi surat tersebut.
Di dekat Mekah, di Maraz Zahran, rombongan Muhammad berhenti. Di sana, beberapa orang kerabatnya dari Bani Hasyim, mendatangi Muhammad dan menyatakan diri masuk Islam. Paman Muhammad, Abbas bin Abdul Muthalib, juga datang untuk mencegah terjadinya banjir darah. Abbas sempat mondar-mandir di antara kedua kubu, sebelum kemudian memergoki Abu Sufyan bin Harb. Pemimpin tertinggi Qurais itu lalu dibawanya pada Muhammad.
Malam itu Muhammad tidak menemui Abu Sufyan. Namun ia berpesan agar musuh besarnya tersebut dilindungi keselamatannya hingga pertemuan esok harinya. Dalam pertemuan itu, Muhammad berjanji untuk tidak memerangi Qurais. "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang itu selamat. Barang Siapa menutup pintu rumahnya, orang itu selamat. Barangsiapa masuk ke dalam masjid (lingkungan ka'bah), orang itu selamat." Pada prinsipnya, siapa yang tidak mengangkat senjata pada kaum muslimin, mereka tidak akan diperangi.
Toh Muhammad tetap bersiaga seandainya pecah perang. Pasukan elit yang mengenakan pakaian serba hijau dan berbaju zirah telah mengelilingi Muhammad. Empat regu pasukan disiapkan. Masing-masing dipimpin oleh Khalid bin Walid, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Ubada serta Abu Ubaidah bin Jarrah. Mereka bersiap memasuki Mekah dari arah yang berbeda.
Sa'ad bin Ubada sempat berbuat keliru. Ketika memasuki Mekah, Sa'ad berteriak: "Hari ini adalah hari perang. Hari dibolehkannya segala yang terlarang..." Seruan yang bertolak belakang dengan janji Muhammad untuk memasuki Mekah secara damai. Muhammad segera merebut bendera komando dari tangan Sa'ad dan menyerahkannya pada Qais, anak Sa'ad yang sekalipun berbadan besar namun lembut hati.
Namun, dari arah belakang tiba-tiba pasukan Ikrima bin Abu Jahal tiba-tiba menyerang. Khalid menghadapi seranagn tersebut. Tiga belas orang Qurais tewas, sisanya -termasuk Ikrima-melarikan diri. Sementara itu, di Mekah tak setetes pun darah mengalir karena serbuan kaum Muslimin. Muhammad masuk Mekah dari Bukit Hind, tak jauh dari makam Khadijah, istrinya. Ia berhenti sebentar di kemah lengkung yang ada di situ, dan melepas pandangan ke seluruh penjuru Mekah. Rasul pergi ke ka'bah, menyentuh hajar aswad dan mengelilingi ka'bah untuk bertawaf. Rasul juga meminta Utsman bin Talha untuk membuka pintu ka'bah. Di pintu itu ia berdiri dan berkhutbah di hadapan hadirin.
Rasul, dalam khutbahnya, mengutip Quran surat Al-Hujurat ayat tiga belas. "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antaramu menurut pandangan Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti."
Ketika orang Qurais tengah menunggu-nunggu hukuman apa yang bakal dijatuhkan bagi mereka, Muhammad justru berkata: "Fadzhabu, faantumut-thulaqau". "Pergilah, kalian bebas sekarang." Tujuh belas orang tokoh yang dianggap paling makar telah dijatuhi hukuman mati. Namun mereka juga diampuni, termasuk Hindun, istri Abu Sufyan yang telah merobek dada serta memakan jantung Hamzah dalam perang Uhud. Hanya empat orang yang telanjur telah dieksekusi.
Muhammad kemudian meminta orang-orang untuk menyingkirkan patung-patung di sekitar ka'bah. Setelah itu, Bilal menyeru azab lima kali dalam sehari. Sejak itulah azan tak pernah berhenti berkumandang dari tempat yang kini menjadi Masjidil Haram di Mekah itu, sampai sekarang
Perang Hunain
Lima belas hari Muhammad berada di Mekah. Segala sesuatunya tampak berjalan lancar. Tapi, belum. Penyerahan warga Mekah tak diikuti masyarakat di sekitarnya. Orang-orang Hawazin dan Thaqif yang mendiami daerah yang lebih subur ketimbang Mekah, justru mengangkat senjata. Seorang pemuda berkharisma, Malik anak Auf, mengumpulkan seluruh kabilah yang ada.
Laki-laki, perempuan, anak-anak bahkan seluruh ternak dikumpulkannya di dataran Autas. Hawa perang dikobar-kobarkannya. Hal demikian sempat dikritik oleh seorang pejuang tua, Duraid. Namun semangat perang Malik tetap menggelegak. Tak ada satupun orang di lingkungannya yang mampu menahan kobaran semangat itu.
Muhammad telah mendengar ancaman dari Malik. Ia lalu mengumpulkan pasukannya. Kini mereka bukan hanya pasukan dari Madinah ditambah berbagai kabilah yang telah bergabung. Mereka diperkuat pula oleh tentara Qurais. Abu Sufyan, yang baru menyerah pada Muhammad, ikut serta di dalamnya. Mereka kemudian bergerak ke lembah Hunain. Jumlah pasukan itu ditaksir sekitar 12 ribu.
Saat itu, tampaknya pasukan Muslim terlampau percaya diri. Berhasil menaklukkan Mekah dengan mudah, membuat mereka kurang bersiaga pada jebakan lawan. Mereka berhasil memasuki lembah Hunain dengan aman, dan kini menyusur ke arah bawah menuju wadi di Tihama. Ketika fajar belum lagi merekah, tiba-tiba pasukan Malik bin Auf menghujani mereka dengan anak panah dari lereng-lereng bukit. Pasukan muslim berlarian menyelamatkan diri.
Orang-orang Qurais yang mengikuti ajaran Muhammad dengan setengah hati tertawa terkekeh-kekeh melihat kejadian tersebut. Mereka senang melihat orang-orang Madinah kena musibah. "Mereka tak akan berhenti lari sebelum sampai ke laut," Abu Sufyan.
Muhammad pun meneriaki pasukannya untuk berhenti. "Mau ke mana kalian? Mau ke mana?" seru Muhammad. Abbas yang bersuara lantang pun memanggil-manggil mereka. Suaranya bergema ke lembah-lembah perbukitan itu. "Marilah saudara-saudara, Muhammad masih hidup," serunya. Baru beberapa saat kemudian mereka kembali lagi. Pasukan pun diatur kembali.
Orang-orang Hawazin telah keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengejar pasukan Muslim. Sebaliknya, pasukan Islam juga telah diorganisasikan kembali. Maka, pagi itu, perang pun pecah tanpa terelakkan lagi. Kali ini Hawazin kalah total. Mereka berlarian dengan meninggalkan 22 ribu unta dan 40 ribu kambing. Malik bin Auf lolos dalam peperangan ini. Ia mundur bersama orang-orang Hawazin, namun kemudian berbelok ke Ta'if, yang menjadi benteng orang-orang Thaqif.
Ta'if adalah tempat Muhammad pernah hijrah namun mendapat lemparan batu. Di tempat ini pula terdapat berhala yang sangat dipuja masyarakat Arab, setelah berhala-berhala di sekitar ka'bah. Muhammad lalu mengarahkan pasukannya untuk mengepung kota tersebut. Namun benteng Ta'if terlalu kuat. Beberapa orang Islam bahkan gugur terkena sambaran anak panah. Rasul kemudian memindahkan markasnya ke tempat yang tak dapat dijangkau dengan anak panah. Di sana Rasul mendirikan dua kemah merah, dan ia bersembahyang diantaranya. Di tempat tersebut kini berdiri masjid Ta'if.
Kepungan tak meruntuhkan Ta'if. Padahal, masa itu, Muhammad telah menggunakan beberapa teknik baru. Antara lain serangan dengan pelontar batu yang disebut 'manjaniq'. Dari beberapa orang Ta'if yang melarikan diri, Rasul tahu bahwa persediaan makanan di dalam benteng masih sangat banyak. Artinya, perlu waktu yang sangat lama untuk mengepung kota tersebut. Sementara itu, pasukan Islam mulai lelah. Apalagi, bulan suci mulai menjelang. Bulan yang di masa terdahulu maupun di masa Islam tak diizinkan sama sekali untuk berperang.
Rasul pun menarik pasukannya dari Ta'if. Pasukan itu bergerak menuju wilayah kaum Hawazin, dan meminta kabilah tersebut untuk menyerah. Masyarakat Hawazin menuntut Muhammad agar membebaskan para tawanan perang. Muhammad meluluskan permintaan itu. Pada mereka, Muhammad bahkan berpesan bahwa seandainya Malik bin Auf dan keluarganya menyerahkan diri dan bersedia memeluk Islam, ia akan mengembalikan harta mereka dan malah akan memberinya seratus unta. Di sini Muhammad menggunakan pendekatan baru, yakni merangkul musuh, untuk menyebarkan kebesaran Islam.
Namun tawaran Muhammad pada orang-orang Hawazin ini meresahkan pengikutnya sendiri, baik orang-orang Anshar maupun Muhajirin. Tak pernah mereka mendapatkan harta pampasan perang sebanyak kali ini. Mereka berharap akan mendapatkan bagian yang sangat besar dari pampasan tersebut. Janji Muhammad pada orang-orang Hawazin memupuskan harapan itu.
Namun Muhammad teguh pada sikapnya. Dengan sabar ia bicara pada para sahabatnya. Rasul menunjukkan bahwa tujuan perjuangannya selama ini bukanlah untuk menjadi kaya, melainkan untuk menyebarkan kebenaran. Para sahabat dapat memahami prinsip tersebut.
Dari Ji'rana di sebelah tenggara Mekah, Rasul pun berangkat untuk menunaikan ibadah umrah. Usai umrah, Muhammad menunjuk Attab bin Asid dan Mu'adh bin Jabal untuk tetap tinggal di Mekah. Keduanya ditugasi untuk mengajarkan Quran serta nilai-nilai Islam secara menyeluruh pada kaum Qurais. Muhammad dan rombongan besarnya lalu kembali ke Madinah
Ekspedisi Tabuk
Madinah telah tumbuh menjadi pusat pemerintahan yang utuh. Sepulang dari pembebasan Mekah, seiring dengan semakin banyaknya kabilah yang memeluk Islam, Muhammad pun mengenalkan ketentuan pajak dan zakat. Setiap Muslimin diwajibkan untuk mengeluarkan zakat 'usyr'. Yakni zakat hasil bumi sebesar 10 persen untuk pertanian beririgasi dan 20 persen untuk pertanian tadah hujan. Orang-orang Arab yang belum memeluk Islam diwajibkan membayar 'khazraj' atau pajak tanah.
Hampir seluruh masyarakat menerima baik ketentuan demikian. Hanya beberapa kelompok kecil yang menentang. Antara lain Bani Tamim. Salah satu puak di kelompok itu bahkan menyiapkan tombak untuk menyambut petugas pemungut pajak.
Rasulullah mengambil langkah tegas. Lima puluh orang pasukan berkuda yang dikomandoi Uyaina bin Hishn segera bergerak menggempur pembangkang pajak itu. Lebih dari 50 orang warga Bani Tamim -laki-laki, perempuan bahkan anak-anak, baik yang Muslim maupun yang masih jahiliyah-digiring ke Madinah untuk dipenjarakan.
Masyarakat Bani Tamim mengirim utusan pada Rasul, minta mereka dibebaskan. Diingatkannya bahwa sebagian tahanan itu adalah orang-orang yang telah menyertai Muhammad dalam pembebasan Mekah dan Perang Hunain. Namun Muhammad tidak memberi keringanan apapun pada mereka. Baru setelah mereka menyerah dan kemudian masuk Islam seluruhnya, Rasul membebaskan seluruh tahanan itu.
Sikap keras juga ditujukan pada orang-orang munafik. Semakin banyaknya pemeluk Islam, semakin banyak pula jumlah orang-orang munafik. Secara resmi mereka memeluk Islam, namun terus berupaya menggerogoti kewibawaan Islam. Sikap keras itu ditunjukkan Rasul dalam persiapan ekspedisi Tabuk. Saat itu, tersiar kabar bahwa Romawi tengah menyiapkan pasukan untuk menggempur kekuatan Islam. Rasul kemudian menyeru kaum Muslimin untuk bersiap menghadapi Romawi.
Beberapa orang munafik mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang melawan Romawi. Muhammad tidak mendesak mereka untuk pergi, melainkan malah memintanya untuk tetap di Madinah. Ketika Abdullah bin Ubay menyusun pasukan sendiri untuk ikut ekspedisi, Rasul juga menolak. Ketika itu orang-orang munafik juga membangun masjid dan meminta Muhammad meresmikannya.
Ketika itu Muhammad meminta mereka menunda peresmian tersebut. Namun sepulang dari Tabuk, Nabi bahkan menugasi sahabat untuk membakar masjid tersebut, yang kemudian dikenal sebagai "masjid dhirar". Yakni masjid yang dibangun bukan untuk tujuan sesungguhnya, melainkan untuk tempat memecah belah umat. Terbukti bahwa orang-orang menggunakan masjid tersebut untuk tempat berkumpul, bergosip, mencari-cari kesalahan umat Islam sendiri.
Perhatian Muhammad kemudian tersita terhadap ancaman Romawi. Ia menggalang kekuatan yang melibatkan sekitar 30 ribu prajurit. Masih banyak lagi yang ingin bergabung. Namun Muhammad menolak mereka lantaran terbatasnya jumlah unta dan kuda yang dimiliki. Padahal orang-orang kaya menyerahkan sebagian besar hartanya untuk ekspedisi tersebut. Di antaranya adalah Usman Bin Affan. Ratusan orang menangis karena tak dapat mengikuti perjalanan tersebut.
Dalam usia sekitar 60 tahun, Muhammad masih memimpin sendiri pasukan menuju ke arah Syam. Mereka sempat beristirahat di Tsamud, wilayah yang di masa silam telah dihancurkan Allah karena keingkaran warganya terhadap Nabi Allah. Pasukan kemudian melanjutkan perjalanan ke Tabuk -tempat ayang diyakini bakal menjadi ajang perang besar melawan Romawi. Namun ternyata Romawi teklah menarik pasukannya.
Di Tabuk, Muhammad sempat menjalin perjanjian dengan penguasa Alia yang beragama Nasrani, Yohanna bin Ru'ba. Yohanna menjanjikan bahwa wilayahnya akan mengikuti ketentuan yang berlaku bagi wilayah-wilayah lain yang juga tunduk pada Muhammad. Pada Yohanna, Muhammad memberikan cindera mata berupa mantel tenunan dari Yaman.
Sementara itu, Khalid bin Walid dan 500 pasukannya melanjutkan misi ke Duma, wilayah garis depan kekuasaan Romawi. Mereka berhasil menyergap pemimpin Duma, Ukaidir. Ukaidir lalu dibawa ke Madinah menyusul Muhammad yang telah pulang dari Tabuk. Ia datang mengenakan baju sutera berumbai emas, dan diiringi 2000 ekor unta dan 800 ekor kambing. Warga Madinah ternganga melihat penampilan Ukaidir. Pemimpin Duma itu kemudian juga masuk Islam.
Kemenangan besar telah diraih. Namun Rasulullah menerima cobaan. Anak laki-laki yang sangat disayanginya, Ibrahim, jatuh sakit dan kemudian meninggal. Muhammad bercucurkan air mata sampai ia diingatkan para sahabat bukankah ia sendiri melarang bersedih karena kematian. Muhammad lalu menjawab bahwa yang dilarang bukanlah berduka cita, melainkan "menangis (untuk musibah) dengan suara keras".
Tahun-tahun Terakhir
Tak ada perang di Tabuk. Darah tidak ditumpahkan. Namun ekspedisi itu telah meninggalkan kesan mendalam di seluruh jazirah Arab. Keengganan Romawi untuk menghadapi tentara Muslim menjadikan pasukan Muhammad sebagai satu-satunya kekuatan nyata di jazirah itu. "Romawi telah mengalahkan Persia. Mereka telah merebut kembali Salib Besar dan membawanya balik ke Yerusalem. Tapi Romawi takut pada tentara Muhammad." Demikian yang ada di benak kabilah-kabilah.
Maka, setelah ekspedisi Tabuk, kabilah demi kabilah berdatangan ke Madinah. Mereka menjumpai Muhammad buat mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian juga tokoh-tokoh perorangan. Di antaranya adalah Urwa bin Mas'ud, tokoh masyarakat Thaqif. Ketika masyarakatnya bertempur di Hunain dan Ta'if melawan pasukan Rasul, Urwa sedang berada di Yaman. Ia menyesali sikap masyarakatnya yang menolak Islam. Maka, sepulang dari Yaman, Urwa segera menemui Rasul.
Usai itu, Urwa pamit untuk pulang ke Ta'if. Ia berjanji akan membawa masyarakatnya untuk mengikuti jalan Allah. Rasul sempat mengingatkan Urwa agar berhati-hati lantaran masyarakat Thaqif sangat fanatik pada berhala yang diberi nama Lath. Rasul benar. Urwa mengajak masyarakatnya untuk salat, namun mereka malah membalasnya dengan menghujani anak panah. Urwa wafat.
Menjelang menghembuskan nafas terakhirnya, Urwa sempat berkata: "Kehormatan telah diberikan Tuhan kepadaku, Kesaksian Tuhan telah dilimpahkan kepadaku. Yang kualami ini sama dengan yang dialami para syhada yang berjuang di samping Rasulullah saw sebelum meninggalkan kita." Pembunuhan terhadap Urwa justru meresahkan masyarakatnya sendiri. Mereka menjadi merasa tidak aman. Hampir seluruh kabilah di sekeliling sekarang telah mengikuti seruan Muhammad. Enam orang pemuka Thaqif kemudian menemui Muhammad dengan sangat cemas. Mereka khawatir atas balasan pihak Islam. Namun tidak. Muhammad memperlakukan mereka dengan baik.
Namun Muhammad tetap bersikap tegas terhadap tawaran yang mereka ajukan. Muhammad menolak permintaan agar orang-orang Ta'if dibolehkan untuk tidak menghancurkan patung Lath. Juga agar mereka dibebaskan dari kewajiban salat. "Sungguh tidak ada kebaikan dalam agama bila tanpa salat," kata Rasul. Satu-satunya permintaan yang dipenuhi hanyalah agar Lath dihancurkan oleh orang lain, dan bukan oleh tangan orang-orang Ta'if sendiri.
Abu Sufyan dan Mughira diminta Muhammad untuk melaksanakan tugas itu. Para pertempuan Thaqif menangis saat Lath dihancurkan. Seluruh perhiasan yang menempel pada Lath diambil, dipakai untuk membayar utang Urwa dan Aswad. Kini habislah kekuatan Arab yang memusuhi Islam.
Rasulullah terus bekerja untuk memantapkan keislaman masyarakat. Saat ibadah haji tiba, Rasul juga tidak berangkat ke Mekah. Ia justru menugasi Abu Bakar untuk memimpin 300 orang jamaah. Rombongan itu telah berangkat ketika Rasulullah minta Ali bin Abu Thalib pergi menyusul. Ketika seluruh jamaah, baik yang Islam maupun orang-orang yang masih jahiliyah yang datang dari seluruh penjuru jazirah Arab, berkumpul di Mina, Ali pun berdiri untuk pidato.
Dibacakannya ayat-ayat Qur'an surat At-Taubah, dari ayat 1 hingga 36. Pada prinsipnya, Ali menekankan empat hal. Pertama, seorang kafir tidak akan masuk surga. Kedua, setelah tahun itu "orang-orang musyrik" tidak dibolehkan menunaikan ibadah haji. Ketiga, tak boleh lagi melakukan tawaf dengan telanjang -sebuah praktek yang banyak terjadi sebelum masa Islam. Keempat, ikatan perjanjian dengan Rasulullah terus berlaku. Penegasan Rasul yang disampaikan Ali ini mengawali masa pengkhususan untuk memasuki Mekah -apalagi wilayah ka'bah-hanya untuk orang Islam.
Sementara itu, di Madinah, kabilah demi kabilah mengirimkan utusannya untuk menemui Muhammad. Tak pernah rasul menerima tamu sebanyak pada tahun-tahun terakhir. Utusan-utusan tersebut seluruhnya menyatakan bahwa kabilahnya telah menerima Islam sebagai agama yang utuh. Haekal menyebut bahwa Ibnu Sa'ad telah menulis masalah perutusan ini secara khusus dalam bukunya 'At-tabakatul Kubra'. Begitu banyaknya utusan tersebut, sehingga Ibnu Sa'ad menghabiskan 50 halaman.
Namun, pada masa itu, Islam juga menghadapi tantangan baru. Yakni semakin banyaknya orang-orang munafik. Pada tahun-tahun itu, mencuat nama Musailama. Kemana-mana ia bahkan menyatakan diri sebagai Rasul. Ia mengarang syair-syair yang didakwakannya sebagai wahyu Tuhan. Di masa sekarang, apalagi abad-abad depan, Islam akan selalu berhadapan dengan Musailama-Musailama baru yang lebih lihai yang juga menyebut diri "membawa kebenaran" .
Haji Wadha'
Tonggak-tonggak masyarakat Islam telah ditegakkan. Satu - dua rombongan misi masih dikirimkan Rasulullah. Termasuk misi 300 orang yang dipimpin Ali bin Abu Thalib, ke Yaman. Sekarang Rasulullah lebih bisa berkonsentrasi menata masyarakat Islam dari Madinah.
Waktu telah mengantarkan Rasul ke tahun ke-10 Hijriah. Mendekati bulan haji, terpikir oleh Muhammad untuk menunaikan ibadah haji besar. Rasul sudah dua kali menunaikan ibadah umrah, yang juga disebut haji kecil. Namun Rasul belum pernah menunaikan ibadah haji besar. Kini, waktu untuk melakukan ibadah tersebut tiba.
Muhammad pun mengumumkan rencananya untuk berhaji itu. Rencana tersebut segera menyebar ke seluruh jazirah Arab. Mendengar kabar itu, orang-orang dari berbagai pelosok berduyun datang ke Madinah. Mereka ingin menunaikan ibadah haji bersama Rasul. Puluhan ribu tenda didirikan di sekitar kota Madinah. Kerlap-kerlip cahaya iman menjadikan Madinah terasa sangat indah.
Pada tanggal 25 Dzulkaidah, Rasulullah beranjak meninggalkan Madinah. Seluruh anggota keluarga ia bawa serta. Bersama mereka adalah puluhan ribu jamaah lainnya. Ada yang menyebut 90.000 orang. Ada yang mengatakannya 114.000 ribu. Berapapun, mereka adalah rombongan terbesar yang pernah ada yang melintasi terik sahara secara bersama.
Di Dhul Hulaifa, rombongan beristirahat semalam. Esok harinya, Nabi berganti pakaian dengan mengenakan kain ihram. Demikian pula orang-orang Muslim lainnya. Mereka kemudian bergerak lagi ke arah Mekah. Seruan talbiah ('labbaika Allahumma labbaika.....') tak putus-putusnya dialunkan. Sungguh bagai sebuah pentas drama luar biasa di alam nyata. Hampir seratus ribu bergerak bersama dalam seragam putih-putih sederhana menyusuri gurun pasir dan lembah pebukitan. Suara mereka bersahut-sahutan membahana, memenuhi seluruh ruang yang ada di perjalanan itu.
Pada hari keempat, mereka tiba di Mekah. Rasulullah menuju ka'bah, puluhan ribu orang itu menuju ka'bah. Rasul menyentuh dan mencium hajar aswad, puluhan ribu orang itu menyentuh dan mencium hajar aswad. Rasul bertawaf berlari kecil mengelilingi ka'bah, puluhan ribu orang itu bertawaf. Demikian seterusnya. Sampai rasul salat di maqam Ibrahim, kembali mencium hajar aswad, lalu ber-sa'i antara bukit Shafa dan Marwa. Usai sa'i, Rasul memerintahkan orang-orang yang tak membawa hewan kurban agar melepaskan pakaian ihramnya.
Dari Yaman, rombongan Ali kemudian bergabung dengan Rasul di Mekah. Mereka tinggal di kota itu sampai Hari Tarwiyah, yakni tanggal 8 Zulhijah. Hari itu, Muhammad dan rombongan pergi ke Mina. Di sana, Rasul terus berada di dalam kemah, termasuk ketika melaksanakan salat. Esoknya, usai salat subuh, Rasul bersiap untuk berangkat menuju Arafah. Pagi itu pula, Muhammad bergerak menuju Namira dan terus beristirahat di sana.
Mendekati siang, Rasul kembali meminta untanya, Al-Qashwa. Ia berjalan menuju ke tengah wadi di daerah 'Urana-Arafah. Dari atas untanya itu, Rasul menyerukan khutbahnya yang terkenal tersebut. Kata-katanya sangat jelas. Pada setiap kalimat, Muhammad berhenti sejenak. Rabi'a bin Umayya, mengulang kata-kata itu, dengan suara lantang sehingga isi khutbah didengar oleh semua jamaah.
Muhammad menutup khutbahnya dengan berkata: "Ya Allah, sudah kusampaikan!" Serentak jamaah pun menjawab: "Benar". Lalu Muhammad menambahkannya: "Ya Allah, saksikan ini."
Rasul pun turun dari untanya. Ia terus di sana sampai waktu sembahyang dzuhur dan asar. Setelah itu, ia menaiki untanya kembali menuju Sakharat. Di sana, Muhammad membacakan firman Allah, Surat Al-Maidah ayat 3: "Hari ini, Kusempurnakan bagimu semua agamamu ini, dan Kucukupkan nikmat-Ku padamu, serta Kuridhoi Islam sebagai agamamu."
Abu Bakar menangis mendengar ayat tersebut. Inilah isyarat bahwa risalah Rasul telah tuntas. Malam itu, Rasul meninggalkan Arafah dan menginap di Muzdalifa. Pagi hari ia turun ke Masyaril Haram, kemudian ke Mina untuk melemparkan kerikil ke Jumrah. Di kemah, Rasulullah menyembelih 63 ekor unta -jumlah yang sebanyak tahun usianya. Muhammad kemudian mencukur rambutnya, mengakhiri ibadah haji ini. Satu-satunya ibadah haji besar yang dilakukannya.
Wafat
Syam. Wilayah ini tampaknya mempunyai tempat yang khusus di hati Rasulullah. Sewaktu kecil, ia pernah dibawa pamannya --Abu Thalib-untuk berdagang ke daerah tersebut. Di waktu muda, ia pernah pergi ke sana untuk menjadi manajer misi dagang milik Khadijah. Setelah menjadi Rasul, ia juga pernah memimpin ekspedisi militer terbesar yang mengarah ke Syam, yakni ekspedisi Tabuk. Kini terpikir kembali oleh Rasul untuk kembali mengirim ekspedisi ke Palestina dan Syam.
Para sahabat pilihan telah ditunjuk Rasul. Ia juga telah mengangkat Usama putra Zaid bin Haritha --anak angkat Rasul yang gugur di pertempuran Mu'ta-untuk menjadi komandan. Sebuah keputusan kontroversial masa itu, karena Usama belum berusia 20 tahun.
Seluruh perlengkapan sudah disiapkan. Kuda-kuda telah siap dipacu. Tiba-tiba Rasulullah jatuh sakit. Terkisahkan bahwa dalam sakitnya, Rasul sulit untuk tidur. Tengah malam, ia lalu keluar rumah dengn ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayba. Rasul -menurut kisah ini-pergi ke Baqi' Gharqad, pemakaman muslim di Madinah. Di sana Rasul berdoa untuk orang-orang yang telah wafat, dan seperti berbicara pada para ahli kubur.
Demam Rasul semakin hari semakin bertambah. Namun ia mencoba tetap melakukan aktivitas biasa. Beberapa kisah menyebut bahwa Rasul masih bercanda dengan istrinya, Aisyah, di saat sakit. Namun suatu hari, ketika Muhammad di rumah Maimunah, serangan demam menguat. Muhammad tak dapat berbuat apapun selain berbaring. Ia kemudian dipindahkan ke tempat Aisyah.
Dikisahkan pula bahwa begitu hebat serangan demam itu sehingga Muhammad merasa seperti terbakar. Hal ini menunjukkan bahwa Muhammad -meskipun dipilih Allah menjadi Rasul-Nya-tetaplah seorang manusia biasa. Ia punya perasaan sedih dan gembira sebagaimana manusia biasa. Ia juga merasakan sakit secara normal. Untuk mengurangi rasa panas itu, Muhammad minta disiram dengan "tujuh kirbat" air dari berbagai sumur. "Cukup, cukup...!" katanya.
Rasul merasa sedikit ringan. Ia mengenakan pakaiannya kembali, mengikat kepala, lalu pergi ke masjid. Di atas mimbar, Muhammad mengucap banyak puji syukur kepada Allah, mendoakan para sahabat yang gugur di Uhud, juga banyak lagi memanjatkan doa yang lain. Saat itu pula, Muhammad menegaskan agar semua mendukung Usama untuk melaksanakan misi yang telah direncanakan. "Dia sudah pantas memimpin seperti ayahnya dulu juga pantas memimpin."
Rasul juga mengatakan bahwa "Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih di sisi Tuhan." Muhammad lalu terdiam. Ia tidak menyebut siapa hamba yang diminta Tuhan untuk memilih itu. Hadirin pun terdiam. Sejenak suasana masjid menjadi senyap. Baru kemudian Abu Bakar memecah keheningan dengan tekadnya untuk menebus jiwa Muhammad dengan jiwa kami dan anak-anak kami. Abu Bakar tahu, yang dimaksud "hamba Allah" oleh Muhammad adalah Muhammad sendiri.
"Sabarlah, Abu Bakar," hibur Muhammad. Dengan bersusah payah ia lalu meninggalkan masjid. Namun, sebelum pulang, ia sempat berpesan agar kaum Muhajirin terus menjaga Anshar.
Usama dan pasukannya masih menunggu di Madinah. Keadaan Rasul semakin parah. Untuk menjadi imam masjid, Muhammad minta agar orang-orang menghubungi Abu Bakar. Aisyah -putri Abu Bakar-protes karena suara ayahnya terlalu pelan untuk menjadi imam, dan sering menangis saat membaca ayat-ayat Quran. Namun Rasul tetap minta agar Abu Bakar yang menjadi imam. Ketika terdengar suara Umar yang keras mengimami salat di masjid, Rasul berkata: "Mana Abu Bakar?" Belakangan, banyak orang percaya, bahwa kejadian tersebut adalah isyarat Rasul agar kaum Muslimin memilih Abu Bakar sebagai penggantinya kelak.
Begitu parah keadaan Muhammad. Ia sempat pingsan beberapa lama. Rasul juga minta istrinya agar menyedekahkan uang miliknya yang cuma tujuh dinar. Ia tak ingin meninggal dengan masih memiliki kekayaan -betapapun sedikit-- di tangan.
Demam Rasul tampak mereda. Dengan kepala diikat, dan ditopang oleh Ali bin Abu Thalib dan Fadzil bin Abbas, Rasul ke masjid. Abu Bakar yang tengah menjadi imam menyisih untuk memberi tempat pada Muhammad. Namun Muhammad mendorong Abu Bakar untuk terus menjadi imam. Ia salat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar.
Orang-orang gembira. Muhammad telah menunjukkan tanda-tanda sembuh. Usama segera pamit pada Rasul untuk melaksanakan ekspedisinya. Namun, kemudian, hari itu tiba. Di musim panas, yang diperkirakan tanggal 8 Juni 632, Rasulullah wafat di pangkuan Aisyah. Diriwayatkan, hari itu Muhammad meminta diambilkan air dingin. Ia mengusap wajah dengan air itu, lalu bersiwak. Menurut Aisyah, Rasul sempat berdoa untuk dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Kemudian tubuhnya terasa memberat.
Kini pemimpin, sahabat, bahkan kekasih seluruh umat Islam itu menghadap-Nya. Umat terguncang. Umar sempat mengancam akan memotong kaki siapapun yang mengatakan Muhammad meninggal. Namun Abu Bakar mengingatkan semua dengan membacakan ayat Quran, Surat Ali Imran ayat 144: "Muhammad hanyalah Rasul sebagaimana para rasul sebelumnya. Bila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu akan berbalik ke belakang?......"
Dua puluh tiga tahun Muhammad menjadi Rasul. Di Madinah, selama 10 tahun -setara dengan dua kali masa jabatan presiden sekarang-Muhammad menjadi pemimpin bangsa. Muhammad pun wafat dengan meninggalkan "keteladanan yang sempurna" untuk menjalani kehidupan. Selebihnya, ia menyerahkan pada setiap muslim -yang seluruhnya telah dibekali Allah dengan nurani dan akal-untuk mengadaptasi keteladanan itu sesuai dengan masa dan situasi yang berbeda-beda.
0 komentar:
Posting Komentar